Kata Lalitavistara saya baca sekitar dua tahun lalu ketika mengikuti walking tour mengunjungi sejumlah rumah ibadah di wilayah pesisir Jakarta Utara, salah satunya adalah Vihara Lalitavistara. Vihara Lalitavistara adalah sebuah Vihara yang terletak di wilayah Cilincing Jakarta Utara, salah satu kekhasan Vihara ini adalah adanya ornamen Stupa Candi Borobudur di halaman depannya.
Jujur pengetahuan saya mengenai agama Budha sebagai salah satu agama resmi yang diakui di Indonesia sangat minim sekali sebelum mengunjungi Vihara tersebut. Mungkin hal lain yang saya ketahui selain Siddhartha Gautama sebagai penyebar ajaran agama Budha adalah hari besar keagamaannya yaitu Waisak tanpa tahu makna apa yang terkandung dalam Hari Raya tersebut.
Setelah kembali dari mengikuti acara walking tour tersebut saya membuka-buka internet untuk mencari referensi mengenai kata Lalitavistara tersebut, yang menurut saya pribadi terdengar indah ketika kata tersebut diucapkan dan didengar. Setelah membaca sejumlah referensi akhirnya saya mengetahui bahwa Lalitavistara adalah kitab Buddha dalam bahasa Sansekerta yang berisi kisah hidup dan ajaran sang Buddha Gautama sejak turunnya sang Buddha  dari Surga Tusita sampai ia memberikan pengajarannya.
Selain itu kisah dalam Kitab Lalitavistara juga terpahat dalam relief Candi Borobudur yang dikenal sebagai salah satu monumen Buddha  terlengkap dan termegah di dunia. Sebuah bukti peradaban maju Asia Tenggara kuno di tanah Jawa ribuan tahun yang lalu. Dalam relief  Lalitavistara di  Candi Borobudur tersebut kisah hidup sang Buddha  Gautama dipahatkan dengan juga memasukkan unsur-unsur lokal Jawa Kuno pada masanya, seperti keanekaragaman flora dan fauna di relief tersebut.
Sebagaimana dituliskan dalam berbagai literatur, Siddhartha Gautama adalah seorang yang terlahir sebagai Pangeran dari sebuah Kerajaan. Pangeran Siddhartha diramal akan menjadi seorang Buddha  dan hal tersebut membuat khawatir ayahnya akan kelanjutan takhta kerajaan sehingga  oleh ayah dan keluarganya Pangeran Siddharta dijauhkan dari melihat kesengsaraan seperti sakit, tua dan mati. Pangeran Siddharta Gautama sudah terlihat cerdas sejak kecil dan kehidupannya di dalam istana diatur sebahagia mungkin namun pada akhirnya Pangeran Siddharta melihat orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci ketika ia sejenak pergi ke luar istana.
Pengalamannya tersebut membawanya pada pergolakan batin  dan sebuah pertanyaan apa arti hidup ini jika harus menderita sakit, umur tua dan kematian. Pangeran Siddharta berpikiran  bahwa hanya kehidupan suci yang bisa memberikan jawaban terhadap semua pertanyaan  tersebut hingga akhirnya sang Pangeran memutuskan untuk meninggalkan istana dan menjalani kehidupan sebagai pertapa hingga Siddhartha Gautama akhirnya mencapai  pencerahan sejati dan menjadi seorang Buddha  serta mengajarkan ajaran welas asih BuddhaÂ
Hari Raya Waisak  yang juga disebut Tri Suci Waisak bagi umat Buddha memperingati tiga hal utama: :
- Kelahiran Pangeran Siddhartha Gautama
- Siddhartha Gautama mencapai pencerahan sejati dan menjadi Buddha
- Wafatnya Buddha Gautama yang dikenal dengan istilah Parinibbana
Â
Secara pribadi, kisah tersebut memberikan inspirasi bahwa kehidupan manusia itu selalu berproses  dan butuh kepekaan untuk membawa proses kehidupan ke arah yang lebih baik yang akan memberikan manfaat tidak hanya untuk pribadi sendiri tetapi juga untuk sesama dan alam sekitar. Terkadang hal tersebut bisa  diperoleh dalam keheningan yang di masa lalu dikenal dengan bertapa. Pada masa pandemi COVID-19 ini, kita selalu menggunakan masker dan diminta untuk  tidak banyak berinteraksi serta lebih banyak berdiam diri di rumah untuk mencegah penyebaran virus. Mungkin hal tersebut tidak terasa nyaman karena untuk sejenak kita harus menjaga jarak dari hingar bingar dunia namun sisi positifnya hal tersebut membawa sebuah keheningan dalam dunia modern yang memberikan sejenak waktu untuk introspeksi terhadap hal-hal yang telah dilakukan dalam hidup ini.Â