Mohon tunggu...
Dodi Sanjaya
Dodi Sanjaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wiraswasta, tinggal di Wonosari, Gunungkidul DIY.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapa yang Harus Tahu Diri, Palestina atau Israel? Atau Dua-duanya

20 November 2012   05:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:01 4556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konflik Israel-Palestina atau Palestina-Irael masih saja berlanjut. Serangan-serangan mematikan dari kedua pihak sepertinya sulit diakhiri. Kedua pihak mengklaim kebenaran dari aksi saling serang tersebut. Dalam sepekan ini saja banyak korban berjatuhan, termasuk pihak sipil, perempuan, dan anak-anak. Mengapa konflik di Tanah Terjanji ini sulit berakhir?

Konflik Israel dan Palestina memang dilandasi akar permasalahan yang kompleks. Secara geografis, wilayah konflik ini terletak pada jalur lalu lintas utama di tepi pantai Laut Tengah yang menghubungkan Afrika, Asia, dan selanjutnya Eropa. Suatu jalur strategis dari segi ekonomi dan politik. Oleh karena itu, sejak lama wilayah ini menjadi rebutan kerajaan-kerajaan besar seperti Mesir, Asiria, Babilonia, Yunani, Roma, dan sampai sekarang. Pada masa kekaisaran Romawi menduduki wilayah ini, kehadiran Yesus yang pada saat itu dianggap sebagai “satria piningit” oleh bangsa Israel (bangsa Yahudi), ternyata tidak memberikan kebebasan dan keselamatan seperti yang diharapkan. Mereka tetap tersingkir dari tanah nenek moyang mereka, tanah suci, tanah terjanji, tanah yang dijanjikan Tuhan Allah saat nenek moyang mereka keluar dari Mesir dipimpin oleh Musa. Pasukan Romawi mampu menumpas pemberontakan Yahudi (132-135 M), dan pada akhirnya wilayah Yudea diganti namanya menjadi Palestina.


Seperti diketahui, kata Palestina adalah sama dengan Filistin, musuh bebuyutan bangsa Yahudi. Penggantian nama itu tentu mendatangkan luka kolektif dalam diri orang-orang Yahudi yang kemudian dibawa sepanjang sejarah. Bangsa Yahudi terusir dari negerinya, negeri yang dijanjikan Allah kepada mereka. Keinginan untuk kembali ke negeri yang diyakini sebagai negeri pusaka ini dimulai pada akhir abad 19 dengan gerakan yang disebut Zionisme. Mereka bertekad merebut kembali tanah warisan nenek moyang mereka. Namun kemudian, akibat dari gerakan ini, motif agama masuk ke ranah politik. Faksi politik radikal Israel yang didukung oleh sebagian besar masyarakat memilih untuk terus menyerang Palestina, khususnya Hamas. Di pihak Palestina ada dua faksi politik besar, yaitu Hamas dan Fatah. Fatah lebih cenderung memilih sikap politik yang mengedepankan perundingan, kerjasama, dan komunikatif dengan Israel. Sedangkan Hamas (Harakat al-Muqawima al-Islamiyya = Gerakan Perlawanan Islam) mempunyai dasar perjuangan yang jelas dan keras. Di pihak Hamas, motif agama dimasukkan ke dalam ranah politik. Dan kemudian masalah menjadi kompleks ketika ada negara lain yang melibatkan diri dalam konflik ini.


Orang-orang yang tidak paham terhadap akar permasalahan konflik Israel-Palestina dan turut melibatkan diri  ke dalam konflik ini berdasar motif agama, tentu akan semakin membuat kedamaian sulit terwujud di wilayah ini. Termasuk pula sebagian masyarakat Indonesia. Saya masih ingat pada saat Gus Dur (sebagai presiden RI) berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Beberapa kelompok masyarakat menentang dan menghujat Gus Dur. Pertanyaan saya, “Salahkah Gus Dur?” Mari kita berpikir jernih. Sebagai ilustrasi, ada pasangan suami istri mengalami konflik rumahtangga, hingga terjadi tindakan kekerasan yang mengakibatkan istri mengalami luka dan harus dilarikan ke rumah sakit. Siapa yang benar? Kalau kita hanya melihat dari pihak istri, tentu akan menyalahkan suami. Demikian
pula sebaliknya. Akan tetapi jika kita melihat akar permasalahan ini dari kedua pihak, tentu akan lebih mudah memberikan solusi yang terbaik. Pun Gus Dur demikian, menganggap selama ini peran Indonesia terhadap penyelesaian Palestina kurang optimal karena adanya kendala komunikasi. Asumsinya, bagaimana bisa melakukan proses penyelesaian terhadap dua pihak yang bersengketa jika salah satu pihak tidak pernah diajak berhubungan oleh Indonesia.


Demikianlah, mengapa konflik Israel-Palestina tidak kunjung selesai adalah karena manusia salah menggunakan akal budi, hati nurani, dan kemerdekaannya sebagai makhluk yang sempurna. Oleh sebab itu bila semua pihak yang terlibat dan melibatkan diri dalam konflik Israel-Palestina ini memang benar-benar percaya akan rencana Allah, kemudian mampu menggunakan akal budi dan hati nurani, tentunya tragedi kemanusiaan di wilayah ini akan segera berakhir.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun