Mohon tunggu...
Dodi Ilham
Dodi Ilham Mohon Tunggu... karyawan swasta -

1. General Secretary of Centre for National Security Studies (CNSS) Indonesia. 2. SekJend Badan Pekerja Pelaksana Agenda Rakyat (BPP-AR) Nasional. 3. CEO of Revolt Institute.

Selanjutnya

Tutup

Politik

.:: Menyoalkan Pilkada Langsung ::.

13 September 2014   17:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:48 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan Kepala Daarah di tingkat kabupaten dan kotamadya yang dilakukan secara langsung sedang dalam tahap koreksi konstitusi yakni dengan lahirnya RUU PILKADA. RUU PILKADA sedang dibahas di DPR RI yang bisa jadi akan diketuk palu pada tanggal 25 September 2014 ini. Suka atau tidak suka maka kita harus menjalankan proses PILKADA sesuai dengan UU PILKADA yang telah ditetapkan tersebut bila disetujui oleh anggota DPR RI tersebut.

Kita mesti mencermati secara objektif, apa latar belakang yang menyemangati RUU PILKADA ini harus segera ditetapkan? Tujuannya apa? Dan Proyeksinya apa?

Kita mestilah mempelajari sejarah yg melatarbelakangi peristiwa kekinian shg kita tidak tersesat dalam memformulasikan forecast ke depannya.

Baik, kita buka sejarahnya...
Sejarah telah mencatat bahwa kemenangan PDI Perjuangan secara simple majority pada tahun 1999 semestinya menghantarkan Megawati menjadi Presiden RI ke – 4. Sebagai pemenang Pemilu, Partai berlambang Banteng ini tidak dapat diabaikan begitu saja dalam konfigurasi kekuasaan. Tapi di sisi lain, ketidak cakapan elit politiknya menyakinkan kekuatan politik lain, cukup menyulitkan Megawati menduduki kursi presiden. Imbasnya, suasana kebuntuan itu merembes ke akar rumput. Situasi ini dimanfaatkan oleh Amien Rais yang mengklaim sebagai BAPAK REFORMATOR. Diperlukan alternatif dari kebuntuan politik seperti itu.

Diusunglah Alm. KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden melalui POROS TENGAH kala itu. Publik tercengang atas manuver Amin Rais dengan Poros Tengahnya. Selama ini, publik memahami Gus Dur sangat dekat dengan Megawati, dan Amin dekat dengan Habibie. Manuver Amin ini awalnya tidak dianggap serius oleh banyak kalangan karena faktor historis yang kemungkinan akan menjadi penghambatnya. Memori publik selalu terbawa ke dalam sejarah politik NU yang keluar dari Masyumi (Muhammadiyah di dalamnya), yang menambah jarak komunikasi NU dengan Muhammadiyah setelah dalam awal-awal berdirinya, kedua organisasi ini terlibat perseteruan. Apalagi kondisi kesehatan Gus Dur yang diragukan dapat memenuhi syarat sebagai presiden dengan tugas kenegaraan yang berat. Manuver ini mulai dianggap sebagai gerakan politik yang serius ketika Gus Dur menyatakan bersedia dicalonkan.

Setelah berhasil mengkooptasi Megawati dan PDI Perjuangan dengan politik adu dombanya (adu domba PDI Perjuangan dan GOLKAR), Amien Rais berhasil mendudukkan Gus Dur sebagai Presiden RI Ke-4 melalui Poros Tengahnya. Dan atas nama demokrasi, Amien Rais melengserkan Gus Dur pada tahun 2001. Guna melanggengkan “kejahatan konstitusinya” tersebut, Amien Rais mengamandemen UUD 1945. MPR RI yang semestinya adalah Lembaga Tertinggi Negara sebagai wujud kedaulatan rakyat tertinggi, malah dimandulkan oleh Amien Rais dengan Amandemen UUD 1945 nya.
PEMILU Langsung baik PILKADA maupun PILPRES di negeri ini tidaklah boleh dipisahkan dari latar belakang 'kejahatan konstitusi' yang telah dilakukan oleh Amien Rais dari tahun 1999 sampai dengan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.

UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Negara Republik Indonesia yang telah diamandemen sebanyak empat kali sangatlah jauh dari cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia 1945 dan Landasan Idiil—Pancasila. Partai Politik yang semestinya melakukan kaderisasi kepemimpinan nasional maupun daerah, malah menjadi wadah lahirnya pemimpin – pemimpin korup akibat dari landasan konstitusi kita yang diamandemen. Belum lagi tatanan masyarakat kita di tingkat akar rumput pun rusak dengan dilanggengkannya proses pragmatis transaksional melalui ‘politik uang’. Rakyat tidak segan – segan mengatakan: “NPWP, Nomer Piro Wani Piro?”, “Kami menerima serangan fajar berupa sembako dan uang tunai!” dan lain – lain bentuk transaksional politik di level masyarakat terendah. Ironisnya perilaku transaksional pragmatis ini pun sampai ke Mahkamah Konstitusi yang merupakan Benteng Terakhir Konstitusi Negara ini dengan tertangkap tangannya Ketua MK Akil Mochtar beberapa waktu yang silam.
Jelas sudah bahwa Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh Amien Rais CS kala itu adalah sebuah kejahatan konstitusi untuk merusak Landasan Idiil Pancasila dan Landasan Konstitusi UUD 1945 yang ASLI sehingga berakibat kepada rusaknya tatanan dan sendi – sendi berbangsa dan bernegara kita yg salah satu strateginya adalah PILKADA LANGSUNG.

PERTANYAAN nya:
Kenapa solusinya hanya MEMBONSAI DI AKIBAT nya dgn mendorong RUU PILKADA ini?

Oleh sebab itu, dengan ini saya menyatakan sikap dgn tegas sebagai berikut:
1. RUU Pilkada ini adalah bentuk dari kemunduran proses demokrasi di Indonesia.
2. Menolak secara tegas pembahasan lebih lanjut RUU Pilkada.
3. Dan menyerukan untuk mengembalikannya DEMOKRASI kepada landasan konstitusi UUD 1945 yang ASLI dan Pancasila.

Mari berpikir cermat dan objektif.

Jakarta, 12 September 2014.
Dodi Ilham.
Pelaku & Aktifis FKSMJ 98.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun