Mohon tunggu...
Dodi Hertanto
Dodi Hertanto Mohon Tunggu... -

Pengamat kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Keputusan MA bisa menyimpang, Koq bisa?

5 Desember 2013   10:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:18 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyimak diskusi Indonesian Lawyer Club pada tanggal 3 Desember 2013 dengan tema ”Dapatkah Dokter Dipenjarakan?” , dalam pembahasan tersebut membuka cakrawala berpikir saya tentang hukum di Indonesia, salah satu bagian yang cukup menarik adalah pernyataan Prof Andi Hamzah 15 menit menjelang diskusi berakhir, beliau menyatakan MA telah Menyimpang dari Hukum yang Berlaku. Dengan modal pemahaman huku seadanya saya mebcoba memutar kembali rekaman acara tersebut dan merangkumnya, beberapa point yang tidak saya pahami saya coba tanyakan kepada pakar yang serba tahu yaitu Mbah Google, Berikut point-point yang bisa kita simpulkan dari diskusi tersebut:

Tidak Terjadi Kelalaian
Sebelum Prof Andi Hamzah menyatakan pendapatnya, Host acara ILC Karni Ilyas memberikan kesempatan Ibu Amelia seorang Kriminolog , beliau menyampaikan bahwa Hukum pidana dengan Norma aspek Prosedur tidak akan ketemu, karena hukum pidana melindungi masyarakat atau korban, ketika dijatuhkan keputusan harus ada kesalahan / kelalaian , pada putusan hakim MA tidak ada tidak ada kata-kata yang menyebutkan terjadinya kematian akibat kelalaian dokter.

Kasasi seharusnya tidak terjadi
Selanjutnya Prof. Andi Hamzah Pakar Hukum Pidana dan Guruf Besar Univeritas Tri Sakti, menyatakan bahwa sesuai tuntutan Pasal 359 pada pengadilan negeri telah diputus bebas, dan menurut pasal 244 KUHP vonis bebas tidak bisa dibanding atau dikasasi , namun kadang-kadang suatu keputusan bebas itu salah putus, mestinya lepas dari segala tuntutan hukum, artinya terbukti terdakwah bersalah sesuai tuntutan hukum, tapi ada alasan pembenar atau pemaaf, mestinya onslag tapi diputus bebas, ini jarang sekali terjadi, Jaksa yang naik kasasi harus membuktikan terjadinya tindak pidana

Lalu karni Ilyas menambahkan bahwa jaksa naik kasasi setelah vijspraak telah dimulai sejak tahun 1976, telah menjadi proseden atau konvensi di Indonesia, mereka beralasan ini vijspraak verkapte, kemudian Prof. Andi menambahkan bahwa bebas tidak murni maksudnya diputus bebas padahal mestinya lepas dari segala tuntutan hukum (vercapte van onslag van alle rechtsvervolging) lepas segala tuntutan hukum terselubung, artinya tuntutan hukum diselubungi oleh vrijspraak (vonis bebas).

Mahkamah Agung telah Menyimpang
Jarang sekali terjadi namun di Indonesia sudah menjadi kebiasaan setiap vonis bebas di lakukan kasasi ke MA, juga Mahkamah Agung terima, jadi sebenarnya MA MENYIMPANG, menyimpang dari hukum yang berlaku, kenapa diterima?? Dan sudah banyak orang yang dihukum seperti itu.

Bukti Dalam Pengadilan Kurang (Missing Link)
Jaksa telah mengajukan dua alat bukti, Surat Visum dan keterangan Ahli, yaitu Ahli Forensik, menurut Prof. Andi Hamzah ada Missing link pembuktian, karena dua alat bukti hanya membuktikan kematian korban terjadi karena emboli, bukan mati karena kelalaian. jadi harus dibuktikan lagi emboli terjadi karena kelalaaian, harus dibuktikan lagi dengan keterangan Ahli mengenai emboli, Apakah emboli terjadi akibat kelalaian / kesalahan prosedur oleh dokter, atau emboli merupakan faktor resiko yang tidak bisa dihindari. Dokter di tetapkan melakukan kelalaian jika dokter tidak melakukan prosedur untuk pencegahan terjadinya emboli pada saat operasi.

Seharusnya Gugatan Perdata
Menurut Prof Andi Hamzah, sebenarnya yang bisa dilakukan hanya gugatan hukum perdata, sesuai pasal 1365 B untuk mengganti kerugiankarena ada hal yang tidak lazim, seperti anestesi yang dilakukan bukan oleh dokter (penata anestesi), dan hal ini sudah diupayakan oleh pihak tergugat dengan memberikan santunan kepada keluarga korban.

Karni Ilyas menanyakan apakah Prof setuju, jika hal ini terjadi karena karena pengadilan perdata di Indonesia tidak berjalan sebagai mana mestinya, jadi orang lebih memilih hukum pidana,lalu Prof Andi menjelaskan namun ini terjadi orang malas menggugat melalui jalur hukum perdata, karena sistem pengadilan perdata di Indonesia yang berbelit-belit, di Belanda putusan hukum Perdata bisa dikeluarkan dalam satu hari dan eksekusi hari itu juga.

Dokter Harus Intropeksi
Terakhir Prof Andi Hamzah menyampaikan bahwa dokter juga harus instropeksi juga mengapa pelayanan kesehatan tidak sebaik di Singapura, bahwa mutu pelayanan yang lebih baik akan mengurangi terjadinya gugatan hukum terhadap dokter di kemudian hari

Kesimpulan
Dalam diskusi pada ILC yang menghadirkan banyak Ahli membahas kasus dr.Ayu dkk, telah membuka cakrawala kita , bahwa kasus ini sudah seharusnya menjadi instropeksi bersama, bahwa sistem kesehatan di Indonesia harus melindungi dokter dari jeratan hukum baik melalui peraturan-peraturan yang yang tidak rancu, dan juga melalui perbaikan kebijakan kesehatan yang memungkinkan dokter dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya, Dokter akan sulit memberikan pelayanan maksimal apabila harus dibenturkan dengan peraturan administrasi yang memberatkan pasien, dokter juga sulit memberikan pelayanan maksimal jika fasilitas dan tenaga kesehatan tidak memadai. untuk ke depannya kita menunggu perubahan kebijakan pemerintah untuk memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia, apakah pemerintah tetap menganggarkan pembiayaan kesehatan hanya 2,3 % atau melakasanakan amanah UU yaitu anggaran kesehatan 5% APBN, sehingga kasus -kasus seperti dr.Ayu tidak terjadi lagi ke depannya.

Kamus Hukum :
Vijspraak : Putusan bebas murni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun