Mari bercerita tentang Lebaran. Lebaran kemarin benar-benar memberikan pemahaman baru tentang pengampunan, dalam bahasa yang sederhana, maaf-memaafkan. Sudah menjadi tradisi bahwa sesudah melaksanakan Sholat Id, mereka yang beragama Islam biasanya langsung pergi ke rumah kerabat dan sahabat. Alasannya bisa bermacam-macam, tetapi sebagian besar pasti akan menjawab untuk menjalin tali silahturahmi. Walaupun saya tidak merayakan Lebaran, saya tidak luput dari tradisi tersebut. Sebagian besar teman di lingkungan saya beragama Islam, tetapi jauh lebih penting dari itu, tradisi seperti ini mendatangkan banyak kebaikan.
Sebelum lebih jauh lagi, saya ingin berkomentar, kalau suasana Lebaran, tidak ada yang berpendapat "Ih, maaf-memaafkan kok cuma 1 hari selama satu tahun". Berbeda dengan hari kasih sayang yang jatuh pada tanggal 14 Februari, selalu saja ada yang berpendapat, "Ih, nunjukin rasa sayang kok cuma 1 hari selama satu tahun". Padahal keduanya mirip. Begitulah... Itu di luar topik, sekarang kembali ke topik awal.
Sayapun memanfaatkan tradisi ini dengan baik karena tradisi ini merupakan momentun yang baik untuk membuka pembicaraan mengenai hal yang tabu dan mungkin dihindarkan di hari-hari biasa, pembicaraan tentang masalah/kebencian yang belum selesai. Misalnya, ada dua orang yang tidak pernah bertegur-sapa karena saling sebal tanpa alasan yang jelas. Sebenarnya salah satu dari mereka ingin kondisi tidak menyenangkan tersebut segera berakhir, tetapi sapaannya tidak pernah dihiraukan. Nah, tradisi maaf-menfaatkan ini membuat, mau-tidak-mau, pintu rumah semua orang akan terbuka. Pembicaraanmu bisa dimulai untuk memperbaiki semua kesalahan yang ada.
Itulah yang saya alami dalam Lebaran ini, ada senior saya yang tidak pernah menghiraukan sapaan saya, baik lewat jejaring sosial ataupun SMS. Memang saya belum ada waktu untuk menemuinya secara langsung karena beda kota. Lebaran membuat semua orang di Indonesia ini libur secara serentak dan pulang ke kampung halaman masing-masing. Sayapun bisa menemui senior saya. Ketika mengunjungi rumahnya, langsung ditanya "ada apa ke sini?". Nah, kalau tidak saat Lebaran, sangat sulit sekali menjawab pertanyaan ini, tetapi karena masih Lebaran pertanyaan tersebut menjadi mudah dijawab, bahkan menjadi pembuka yang menarik. "Mau Lebaran ini senior, jadi sekedar datang berkunjung menjalin silaturahmi dan minta maaf", lega sekali bisa membuka percakapan setelah satu tahun lebih tidak pernah ada komunikasi.
Topik demi topik kami bahas sampai suasana "seperti permusuhan" ini menjadi jelas. Dari pembicaraan ini, semua kesalahpahaman menjadi jelas, beban di hati berkurang. Kemudian muncul pertanyaan dalam benak saya, "Kenapa mereka yang merayakan Lebaran, biasanya, hanya mengunjungi kerabat dan sahabat?" Saya menerka-nerka jawaban. Pergi ke tempat kerabat masih masuk akal karena menjalin komunikasi itu penting, jarang bertemu dengan kerabat. Akan tetapi mereka yang menyebut dirinya sahabat biasanya memiliki komunikasi yang baik sepanjang tahun, tidak perlu memaksakan diri untuk bertemu saat Lebaran karena masih ada yang harus dikunjungi, yaitu musuh atau orang yang dibenci bila kata musuh terlalu berlebihan.
Seharusnya musuh menjadi prioritas pertama yang dikunjungi dibandingkan kerabat atau sahabat, begitu pikir saya sekarang. Sungguh luar biasa bila ada orang yang tidak pernah menaruh benci atau sebel sedikitpun kepada pihak-pihak tertentu, rasa-rasanya seperti hampir tidak mungkin. Ya... Sebaiknya Lebaran yang akan datang, kita membuat daftar orang-orang yang harus dikunjungi (bukan termasuk kerabat atau sahabat) yang akan membuat Lebaran jauh lebih bermakna.
Itu maksud judul tulisan ini, jangan lupakan (untuk mengunjungi) musuhmu. Saya sudah mengunjungi senior yang sepertinya benci kepada saya, saya sudah minta maaf, Lebaran baru benar-benar terasa.
A: Eh, mau kemana?
B: Mau silaturahmi. Kamu mau kemana?
A: Saya sekarang mau pulang, kerabat dan sahabat sudah saya kunjungi semua. Kamu mau kemana?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!