Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Meneroka Jurnalisme Imersif

6 Februari 2022   20:04 Diperbarui: 6 Februari 2022   20:10 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Definisi lebih luas jurnalisme imersif adalah penggunaan teknologi imersif, seperti video 360 derajat, realitas virtual, augmented reality, realitas sinematik, dan realitas campuran dalam penceritaan jurnalistik.  

Jurnalisme imersif memungkinkan partisipan untuk mengalami, dan kemudian tenggelam dalam cerita yang dibuat bukan di dunia nyata tetapi di ruang virtual, augmented, atau realitas campuran (Uskali et al,2020). Jurnalisme imersif juga dijuluki mesin empati (de la Pena,2010) karena mampu memicu emosi.

Jurnalisme imersif sebetulnya sudah diakui dengan penghargaan Pulitzer tahun 2018 kategori jurnalisme ekplanatori untuk media daring The Arizona Republic dan jaringan USA Today atas reportase yang menggabungkan teks, video, podcast, dan realitas virtual. 

Reportase tersebut menyajikan dari berbagai perspektif, kesulitan dan konsekuensi yang tidak diinginkan pemenuhan janji kampanye Presiden Trump membangun tembok di sepanjang perbatasan Amerika Serikat dengan Meksiko.

Salah satu persoalan penting produk jurnalisme imersif adalah masalah empati. Realitas virtual memicu emosi secara lebih efektif dibandingkan produk jurnalistik lain. Hal ini disebabkan partisipan mudah merespon secara realistis peristiwa yang dialaminya meskipun sadar bahwa peristiwa tersebut tidaklah nyata.

Partisipan terpicu karena emosinya dimanipulasi. Istilah partisipan sendiri menggambarkan bagaimana pengguna jurnalisme imersif tidak hanya membaca, mendengar namun juga mengalami suatu produk jurnalistik. Pavlik (2019) menyebutnya sebagai berita yang dialami (experiential news). Posisi mengalami berita itulah yang menjadi kekuatan sekaligus persoalan.

Persoalan lain berkaitan dengan fakta. Sebagai bagian dari tiga elemen jurnalisme (selain nara sumber dan presentasi berita) fakta dalam jurnalisme adalah suci.

Tanpa fakta, data yang terkonfirmasi, maka tidak ada berita. Sedangkan jurnalisme imersif  tidak bertujuan semata-mata untuk menyajikan fakta, melainkan peluang mengalami fakta (de la Pena,2010). 

Realitas yang hadir bukanlah realitas sesungguhnya melainkan realitas yang diciptakan media yang diistilahkan Baudrillard sebagai hiperealitas (hyperreality).

Terlepas dari kekurangannya jurnalisme imersif tetap relevan untuk terus diteliti dan dikritisi baik dari sisi teknis maupun etis. Potensinya membuka partisipan media melalui kreativitas konten menjadi tantangan tersendiri di tengah kemajuan teknologi yang semakin interaktif. 

Seperti ujaran Nonny de la Pena," Jurnalisme imersif menawarkan cara lain mengalami berita (experience the news) sehingga dapat memahaminya tanpa berada di tempat sesungguhnya".

 Bagaimana dengan pers Indonesia. Sudah siapkah dengan jurnalisme imersif?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun