Berita harian Kompas Selasa ini (19/1/21) Â begitu puitis tapi menyesakkan. Robohnya fasilitas kesehatan kita. Judul yang mengingatkan pada novel Robohnya Surau Kami karya A.A Navis. Tulisan itu memulai dengan kisah perjuangan Dewi (bukan nama sebenarnya) yang gagal mendapat perawatan untuk ayahnya karena terus menerus ditolak rumah sakit karena alasan penuh. Ayah Dewi akhirnya mengembuskan nafas terakhir di taksi daring. Di Yogyakarta seorang warga desa Potorono Bantul Yogyakarta akhirnya wafat setelah ditolah sejumlah rumah sakit.
Penuhnya rumah sakit membuat pasien yang dirawat karena Covid-19 dan akhirnya wafat disambut gembira. Dengan kematiannya satu tempat tidur perawatan menjadi tersedia untuk pasien Covid-19 yang antri memerlukan perawatan. Sebuah kondisi ironis karena kedukaan orang lain menjadi suka cita yang lainnya.
Pemerintah mengklaim tingkat ketersediaan tempat tidur di rumah sakit (okupansi) sudah mencapai 70%-80%. Kenyataan di lapangan menunjukkan okupansi sudah mencapai 100% bahkan lebih. Pemerintah sepertinya tidak ingin kepanikan melanda masyarakat.Â
Dalam sebuah perbincangan saya dengan wartawan senior di Jakarta di awal tahun ia mengaku sepengetahuannya bahwa semua rumah sakit di Jakarta sudah kewalahan menerima pasien baru Covid-19. Namun fakta ini tidak dijadikan berita karena mereka memilih untuk tidak membuat masyarakat panik. Berita tentang protokol kesehatan lebih menjadi pilihan untuk disampaikan kepada masyarakat.
Pemuatan berita Robohnya Fasilitas...di halaman 8 juga sudah menjadi bukti bagaimana media berusaha mencegah berita penting ini menjadi sumber kepanikan. Lain ceritanya jika berita ini muncul di halaman utama alias headline. Penuhnya rumah sakit juga diindikasikan dengan jumpa pers menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang meminta rumah sakit mengkonversi tempat tidur bukan untuk Covid-19 menjadi tempat tidur pasien Covid-19.
Perlu menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah juga adalah tanah pemakaman. Sudah terjadi krisis lahan pemakaman semenjak pandemik merebak. Di Jakarta misalnya pemakaman pondok Rangon sudah penuh. Akibatnya pemerintah DKI harus merogoh Rp 254 milyar untuk menyediakan lahan pemakaman jenazah Covid-19 (merdeka.com)
Kondisi krisis lahan pemakaman seharusnya tidak terjadi untuk wilayah DKI Jakarta. Dengan APBD besar dan lahan yang luas seharusnya krisis lahan pemakaman tidak terjadi. Krisis pemakaman ini mengindikasikan kurangnya persiapan menghadapi bencana nasional Covid-19. Pemda DKI sibuk dengan 3T dan kecolongan menyediakan lahan untuk warganya yang wafat akibat terpapar Covid-19.
Kondisi ini seharusnya menyadarkan kita bahwa mencegah tidak terpapar Covid-19 adalah jalan terbaik yang jauh lebih mudah dan murah. Virus ini memang tidak membuat sebagian orang sakit walau tidak sedikit pula yang harus menjalani perawatan.Â
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya kian mengetatkan pengawasan protokol kesehatan jika tidak ingin pasien positif Covid-19 bertambah terus. Angka satu juta warga Indonesia yang terpapar positif Covid-19 adalah keniscayaan dan tinggal menunggu hari. Ataukah kita ingin menambah terus angka tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H