Presiden ke-6 RI Â Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali jadi pembicaraan. Di hari ulang tahunnya yang ke-70 ia mengucap pidato bertajuk pidato kontemplasi.
Secara leskikal kata kontemplasi berarti perenungan. Berkontemplasi artinya merenung dan berpikir dengan sepenuh perhatian. Jadi, pidato kontemplasi SBY adalah pidato hasil perenungannya membaca situasi terkini bangsa Indonesia.
Seperti biasa pidato SBY sering, kalau tidak mau disebut selalu, mengaitkan kondisi diri dan keluarganya dalam pidato-pidatonya. Silakan Anda buka kembali pidato-pidato SBY sebelumnya kalau kurang percaya.
Sepertinya peristiwa yang menimpa diri dan keluarganya diposisikan sebagai sama penting dengan persoalan bangsa. Tidak ada yang salah dengan itu, mungkin. Bisa jadi itu simbol bahwa kepentingan bangsa laksana kepentingan keluarga.
Kali ini persoalan keluarga yang disebut SBY adalah wafatnya ibunda tercinta  10 hari lalu dan istri tercinta 100 hari lalu. SBY juga memosisikan dirinya yang 20 tahun menjadi warga sipil, 30 tahun warga militer, 15 tahun mengabdi di jajaran pemerintahan dan 5 tahun terakhir menjadi warga sipil lagi.Â
Di sini SBY mencitrakan diri bahwa di tengah duka musibah kehilangan orang tercinta, dirinya tak pernah berhenti mengabdi untuk bangsa. Terbukti dengan puluhan tahun mengabdi di berbagai wilayah baik sebagai orang sipil maupun militer.Â
Dengan pengalaman asam garam yang banyak artinya SBY mengingatkan bahwa ia pantas dan berhak urun rembug memberi masukan kepada pemerintahan Indonesia.
Selanjutnya SBY membicarakan tujuan masyarakat Indonesia. Untuk itu, SBY menekankan perlunya nilai-nilai perilaku menuju Indonesia menjadi good country.Â
Nilai-nilai perilaku yang penting itu, menurutnya ada dua: kasih sayang (love) di antara kita dan bukan kebencian (hatred) . Yang kedua adalah rasa persaudaraan (brotherhood) yang kuat di antara kita, sesama bangsa Indonesia, dan bukan membangun  permusuhan (hostility) di antara masyarakat yang berbeda identitas.
Sampai sini pendengar pidato SBY tentu akan memberi persetujuan. Bangsa majemuk ini memang memerlukan banyak kasih sayang daripada kebencian dan persaudaraan daripada permusuhan. Tapi ini jurus pembuka. Karena inti dari pidato ada pada bagian lanjutannya.
Esensinya, Ke depan, politik kita harus makin menjadi politik yang baik bagi bangsa yang majemuk, Yang juga menganut sistem demokrasi multipartai, politik kita harus makin guyub, makin inklusif, dan makin teduh. Demokrasi tak harus selalu diwarnai dan diselesaikan dengan "one person one vote", tapi juga ada semangat yang lain.