Cinta ditolak, dukun bertindak. Kalimat ini sering muncul bersliweran di ruang publik. Bentuknya bisa bermacam-macam.Mulai dari sticker alias gambar tempel, lukisan di bokong truk hingga berita di koran kuning.Â
Substansinya satu, penderitaan dibayar penderitaan. Cinta yang ditolak adalah penderitaan. Penderitaan itu harus dirasakan juga oleh yang menolak.Dengan kata lain:dendam.Â
Di zaman milenial istilah dukun dengan kekuatan gaibnya mulai tersingkir. Kini yang muncul adalah kekuatan gaib yang dimiliki media. Dan semua orang memilikinya. Berkat media kini dendam mudah tersalurkan.
Persoalan dendam itulah yang mengantar  JAZ meringkuk di polda DIY. Aktivis mahasiswa berusia 26 tahun  itu tak terima hubungan asmaranya dengan  BCH tak direstui keluarga.Â
Dengan motif dendam itu gambar dan video tak senonoh  kala keduanya dimabuk asmara disebarkan melalui media WhatsApp. Bahkan keluarga pihak perempuan pun ikut jadi sasaran penyebaran.!
Motif kriminal JAZ mungkin terbilang klasik. Yang modern adalah penggunaan media komunikasi sebagai penyaluran dendamnya.Â
Kemudahan merekam, menyimpan dan mendistribukan  bahkan mereproduksi menjadi kekuatan "gaib" media yang dulu mungkin tak terpikirkan.Â
Efek pendistribusian tayangan berupa gambar atau video pun dahsyat. Apalagi jika kontennya bermuatan cabul. Tak hanya menyebar ke kalangan dekat, gambar dan video porno tersebut dapat dikonversi ke dalam media sosial. Â
Melalui media sosial itu pula level kepopulerannya dapat naik dari sekedar lokal menjadi mendunia.Yang lebih miris konten porno tersebut menjadi abadi dengan diunggah ke situs-situs penyimpan video cabul.Â
Dari semula hanya alat dendam kini berganti menjadi alat ekonomi. Terjadi monetisasi. Dendam dikonversi menjadi uang oleh kepintaran media.
Dengan perspektif itu pula kiranya pelaku penyebaran video porno seharusnya dapat dihukum sangat berat. Ia tak hanya mempermalukan sebuah keluarga dalam skala nasional namun internasional.Â