Di mana sesungguhnya posisi media dalam jagad semburan kebohongan (firehose of falsehood) ? Pertanyaan ini menarik menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo awal Februari ini di Karanganyar Jawa Tengah (kompas.com).Â
Presiden petahana itu mengaku sudah empat tahun diam dan baru sekarang mengomentari semburan kebohongan terhadap diri dan keluarganya yang marak di media sosial.Â
Pertanyaan ini juga pantas diwacanakan karena di abad 21 ini peran media, khususnya media komunikasi, sangat penting dan tak terelakkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hubungan antara media dengan semburan kebohongan kian penting dipertanyakan dalam suasana politik jelang pemilu bersama (presiden dan legislatif) 17 April nanti.
Salah satu bukti bahwa semburan kebohongan berkaitan erat dengan media adalah dengan melihat pada ketat tidaknya negara mengatur media. Iran dan Republik Rakyat Cina sebagai negara-negara yang membatasi kebebasan media, adalah bagian dari negara yang masyarakatnya minim terprovokasi semburan kebohongan.Â
Sebaliknya negara-negara dengan kebebasan media yang tinggi seperti Amerika Serikat dan Inggris cenderung menjadi lahan subur maraknya elemen semburan kebohongan seperti kabar bohong (hoax) dan berita palsu (fake news). Meskipun harus diakui pula negara dengan kebebasan media tinggi banyak pula yang tetap kebal dengan semburan kebohongan.
Penekanan adanya kaitan erat antara media dan semburan kebohongan perlu ditegaskan karena banyak penjelasan mengenai bahaya firehose of falsehood itu berdiri sendiri.Â
Seolah-olah semburan dusta membasahi masyarakat langsung tanpa media, padahal tidak. Semburan kebohongan dipancarkan dominan melalui media, entah media arus utama (cetak, penyiaran, media baru) atau media sosial (fb, twitter dsb).Â
Artinya penyebaran semburan kebohongan tidak lepas dari logika media alias media logic. Logika media merujuk pada asumsi dan proses untuk membangun pesan dalam medium tertentu. Ini termasuk ritme, tata bahasa, dan format (Altheide,2004)
Dengan memahami kaitan antara semburan kebohongan dan media maka upaya pencegahan dan penangkalan efek semburan kebohongan dapat dipetakan. Bila pilihan ekstrim maka pengaturan media secara ketat jadi pilihan.Â
Tentunya hal ini akan mendapat perlawanan keras para pembela hak asasi manusia. Kebebasan informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia tak mungkin dikorbankan.Â
Pilihan moderat dan demokratis adalah literasi media. Literasi media atau melek media didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat mengakses, menganalisis, dan menghasilkan informasi untuk hasil spesifik (Silverblatt, 2014). Hasil yang spesifik bisa dijabarkan sebagai well informed society, masyarakat yang berpengetahuan luas.