Tidak ada habis – habisnya tingkah penggiat politik di tanah air. Ada yang diusir dari ruang sidang, ada yang menyesali keputusan terjun ke politik, ada yang mengundurkan diri dari jabatan, eh ini ada lagi pejabat tertinggi wilayah yang seharusnya menjadi tonggak keamanan dan ketertiban, malah menggertak atasannya dengan ancaman kerusuhan!
Untung, untung atasannya seorang ustad, coba kalau berasal dari habitat yang sama, tak bisa kubayangkan, ketua preman kotamadya duel dengan ketua preman provinsi hahaha, geli akyu, lebih geli dari melihat tayangan mata najwa episode Raja Dangdut.
Ada apa ini sebenarnya. Standar kewajaran sudah mangkin melenceng. Bagi saya sebagai kepala negara amanat rakyat Indonesia, hal seperti ini tidak bisa di biarkeun, sudah diluar batas dan melangkahi nilai – nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Begitu mungkin kata Almarhum Pak Harto ketika mendengar Mendagri nya laporan tentang Garut! Nggak pake lama tuh, bubar kabeh jadi dodol piknik heuheu.
Jika kita sebagai anak diminta santun dan bertata krama kepada yang lebih senior. Di posisi yang lain kita sebagai orang tua juga meminta anak, adik dan orang yang lebih junior dari kita hal yang sama sebagai suatu bentuk kewajaran, maka dengan kejadian Garut Carut Marut ini, menjadi carut marut pula tatanan berwarga negara dan bermasyarakat kita. Wong tiangnya saja sudah bengkok, mau mengharap apa dari warga? Rumah yang pilarnya bengkok, mana bisa membuat nyaman penghuninya? Satu lagi yang harus disadari bagi para pemimpin tercinta kita. Bapak – ibu pemimpin sekalian itu ibarat jam bandul. Tahu kan yang segede lemari yang dipajang di mesjid samping mimbar khutbah? Kalau kalian bergerak satu detik saja, efeknya? Itu gandulan bergoyang ke kiri ke kanan selebar – lebarnya. Kalau kalian yang dipangkal bergoyang lebih dahsyat? Yakinlah bandulan berputar 180 derajat dan dalam waktu tidak lama terlepas hancur berantakan.
Makanya ingat – ingat lagi kata A Agym. Berlomba – lombalah dalam kebaikan, tapi saling menolaklah jika ditunjuk menjadi pemimpin. Itu nasehat lengkap dengan story nya lho. Saya saja masih ingat kisah – kisah teladan kepemimpinan para sahabat. Kisah mahsyur Saidina Umar dengan para gubernurnya. Kisah khalifah Harun Al Rasyid dan yang saya selalu ingat adalah kisah khalifah Muhammad Al Fatih yang ketika berbicara dengan anaknya di kantor, maka dia padamkan lampu. Ketika ditanya kenapa gelap – gelapan? Jawabannya mantap sekali: Kamu khan datang urusan pribadi, lampu ini fasilitas kantor!
Ah saya menulis artikel ini bukan mau khutbah, juga bukan mau menghakimi. Lebih tepatnya curhat sekalian nostalgia. Apa hubungannya ya? Ada yang tahu tidak, jika Garut itu selain dodol dan dorokdok (kerupuk kulit kerbau) juga terkenal dengan preman kelas nasional. Coba saja tanya sama Ambon – ambon Alamo, atau preman flores, Bima dan sekitarnya yang ada di Jakarta. Kalau bisa tidak mau berurusan dengan Jegeur Garut. Sok Tahu ya? Nggak lah, saya kan masih keturunan Garut. Om saya saja dulu, dulu ya, sekarang sudah Haji, taqwa bin Soleh heuheu. Dulu Rajanya Blok M. Sebut saja namanya, dari mulai ongkos bis gratis, teh botol gratis, sampai dibekali buah – buahan gratis. Mau dipalak prokem bau tatoan? Sebut saja nama Om saya itu, malah mereka kasih yang kasih duit.
Saya pikir sekarang bukan jamannya lagi orang Garut jadi jegeur alias preman. Lah ternyata eh ternyata. Garut masih mempertahankan prestasi nya sebagai penghasil preman nasional. Tidak tanggung – tanggung, Preman tertingginya adalah orang nomer satunya Garut. Waduuh, sing sabar we nya pak Ustaz Heryawan. Da kumaha – kumaha ge, eta jalema anak buah pak ustaz sendiri heuheu. Kalau macem – macem, apa perlu saya panggil Om saya mantan jegeur Blok M tea? Iyalah ngga usah begitu – begituan lagi. Harusnya sudah tidak zaman nya. Saya saja, terakhir tawuran ya waktu SMA, 20 tahun yang lalu! Saya rasa sebagai sesama orang sunda, Kang Eep Saepullah Fatah harus merapat membantu Pak Gubernur jabar. Ajari soal Politik Santun. Sekalian ajari tentang politik cerdas, supaya para pemimpin kita ini berwatak burung Garuda. Mengayomi, berpandangan luas dan tajam dan mampu terbang tinggi, gagah perkasa menembus teritorial membawa harum nama bangsa. Jangan jadi kodok di musim hujan, yang kepintarannya injak bawah, sikut kiri, sikut kanan dan ketika ada peluang korupsi di depan mata, Hap! Melompat lalu ditangkap!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H