Memahami Makna Modernisasi
Salah satu julukan penanda status sosial yang paling membanggakan adalah disebut modern. Bahkan orang yang tinggal dipelosok kampung, rumahnya persis dibantaran sawah pasti tidak mau disebut kampungan. Bisa jadi gara – gara disebut orang kampung, bisa kejadian perang antar kampung. Demi tidak dijuluki kampungan, banyak orang termotivasi untuk hijrah dari kampungnya, berjuang meningkatkan status sosialnya dan melayakkan diri menjadi bagian dari masyarakat yang dianggap modern.
Dikalangan yang sudah diakui sebagai komunitas modern pun, segala daya diupayakan untuk mempertahankan dan meningkatkan status ke modern an nya. Seperti si Jhoni kawan saya, 10 tahun lalu masih dipanggil Jono Kaler, karena nama aslinya Sujono dan tinggalnya di bagian desa paling kaler (utara), Sekarang Jhoni sudah tinggal di Jakarta, jadi karyawan di salah satu perusahaan nasional yang berkantor di SCBD, kawasan yang dianggap paling modern di sepanjang jalan Sudirman, Jakarta kota metropolitan. Kabar terakhir, Jhoni akan dikirim ke Los Angeles, Amerika untuk tugas belajar dan bakalan menempati cabang baru perusahaan di Frankfurt. Jadilah bung Jhoni resmi sebagai warga dunia (citizen world).
Ah bang Doddy ini suka sirik saja dengan kemajuan orang! Lagi pula menjadi modern kan bagus, artinya berkemajuan. Modernisasi juga perlu sebagai gerakan atau program percepatan pembangunan. Hidup jauh lebih mudah dan nyaman, jadi apa salahnya dengan menjadi modern? Begitu mungkin tanggapan dari anda ya. Wah kalau itu responnya, saya mah satuju sekale. Hidup memang harus semakin mudah. Mau Ngapa – ngapain juga jadi serba gampangkan. Jadi lebih efesien, efektif dan terjangkau. Dulu pergi haji naik kapal layar selama dua bulan, sekarang beberapa jam saja sudah sampai dengan pesawat terbang. Dulu gelap – gelapan sekarang terang – terangan. Yang jauh jadi dekat, yang jarang jadi sering, yang berat jadi ringan. Jadi modernisasi yang dimaksud itu sebenarnya alatnya atau matlamatnya? Tools atau tujuannya? Apakah alat bisa disamakan dengan tujuan? Satu lagi yang penting digaris bawahi, apakah modern itu identik dengan kemajuan?
Contoh: Saya menulis artikel ini tujuannya untuk membuat kemajuan, baik untuk diri sendiri dan orang lain. Harapannya dengan tulisan yang dibuat bisa memberikan nilai tambah berupa wawasan, kemajuan dalam berpikir, berkreasi dan maju dalam memandang segala sesuatu sehingga ada kemajuan untuk menciptakan solusi – solusi problematika kehidupan. Bukan menulis karena mau disebut penulis modern kan. Kalau Cuma itu tujuan saya menulis, patut dipertanyakan kelayakan saya sebagai penulis. Tapi dalam rangka mempermudah tujuan saya menullis, saya pakai laptop canggih, buat blog dan posting di internet, tidak lupa seduh kopi dulu di coffee maker dan memanaskan gorengan sisa sarapan tadi di micro wave, sambil sesekali update berita dari TV One, CNN dan Aljazira di TV kabel.
Jadi semoga jelas contoh kemajuan sebagai suatu tujuan. Disebut tujuan karena ada nilainya. Semakin tinggi nilainya semakin mulia tujuannya. Jadi modernisasi sebagai alat untuk mempermudah tujuan yaitu transformasi nilai. Kenapa nilai – nilai itu harus disampaikan? Karena saya atau siapapun yang mau berbagi ilmu melalui tulisan merasa perlu untuk berbagi dengan nilai – nilai yang diyakini sebagai nilai yang paling ideal. Dengan demikian, mari kita kaji kembali apa yang dimaksud dengan manusia modern itu. Siapa yang paling pantas di juluki manusia paling modern saat ini? Saya punya teori sendiri nih. Untuk para ahli sosial budaya, antropologi dan profesor doktor sejarah peradaban, minta maaf saja kalau teorinya ngawur. Maklum yang bicara Cuma jebolan Senirupa ITB dan berprofesi serabutan. Jadi konsultan iya, desainer iya, ngurus UMKM iya, sampai makelar tanah juga iya heuheu. Let’s start with Definition (sok modern banget yak):
1. Modern berasal dari kata moda atau mode juga boleh. Dari kamusnya bisa diartikan alat, cara, gaya atau style. Mau pilih yang mana juga boleh, ujung – ujungnya sama. Orang modern berarti orang yang punya cara, orang yang dilengkapi alat dan orang yang punya gaya / style.
2. Alat, cara dan gaya adalah produk yang dihasilkan manusia yang berbudi daya, artinya produk budaya. Ruang lingkupnya adalah kebudayaan. Budi daya artinya si Budi dan si Daya. Yang satu urusan sprituil yang satu urusan material. Si Budi mainnya didalam, kerjanya berpikir, merenung, menilai, memperhatikan fenomena dan gejala alam. Menangkap dan menyampaikan gagasan. Mempelajari, mengerti dan menghayati sumber nilai. Sumber nilai bisa diambil dari mana saja. Tapi bagi saya sumber nilai tertinggi dan absolut adalah ajaran dari Tuhan langsung berupa universitas kehidupan. Bahan mata kuliahnya dalam bentuk kitab suci dan manual booknya contoh terapan yang dijadikan acuan seperti perkataan dan perbuatan para Nabi dan orang – orang yang diakreditasi sebagai pejuang kebenaran. Makanya si Budi punya julukan Budi Pekerti atau biasa disebut akhlak, moralitas, tata krama, etika, dsb.
Sedangkan si Daya, kerjanya ya kerja. Action, menterjemahkan hasil olah si budi menjadi tindakan, produk, cara, sistematika, peraturan, dan berinovasi terus disemua aspek untuk menghasilkan solusi, kebaikan dan perbaikan terus menerus. Hasil keduanya maka terbentuklah yang dinamakan peradaban. Terciptalah berbagai kegiatan yang dinamakan pembangunan. Tersedialah berbagai perangkat software, hardware, tools berupa ilmu pengetahuan, science, sistem, peraturan, pengaturan, pemberdayaan, teknologi, seni, cara dan gaya.Maka lahirlah yang disebut mode. Maka keluarlah istilah khusus bagi pengguna, penggiat dan pemuja mode, yaitu modern. Jadi, modern adalah:
“ Suatu keadaan dimana seseorang, kelompok atau sejumlah besar manusia (suku, bangsa, kawasan,teritorial, regional, international) sedang menjalani aktifitas kehidupannya berdasarkan keyakinan terhadap nilai – nilai yang dianggapnya benar untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya”
Kalau pengertiannya seperti itu, adakah modernitas itu karena bicara bahasa internasional (Inggris), pake android jelly bean, makan di Mc Donald, Ngopi di Starbuck, belanja ke Mall, pake baju bermerek, liburan ke Hollywood, dan segala urusan yang bernuansa canggih, import, prestise dan ngetrend? Bagi saya, modern anggapan kita sekarang sudah melenceng jauh dari makna yang sebenarnya. Yang terjadi adalah adaptasi nilai yang belum tentu modern. Ketika segala alat dan fasilitas yang seharusnya menjadi alat bantu bagi pencapaian olah si budi dan si daya ini justru makin menjauhkan dari kesepakatan nilai – nilai tersebut, maka yang terjadi adalah demodernisasi.
Sebenarnya di barat sana beberapa orang sudah menyadari hal ini. Yang mereka sangka sebagai modernisasi, telah membiaskan pengertian tujuan dari kemajuan itu sendiri. Ada dampak yang terlambat diantisipasi. Karena tidak singkron antara si Budi dan si daya disana itu. Contohnya, industrialisasi, selain menciptakan kemakmuran pada pihak tertentu dan kemudahan publik, juga menciptakan kerugian. Berbagai isu gencar membahas tentang efek rumah kaca, polusi udara, tragedi kecelakaan lalu lintas yang jumlahnya lebih besar dari perang antar negara. Anti sosial, individualisme dan berbagai dampak kerusakan akibat salah memaknai arti modernitas. Maka munculah teori yang dinamakan Post Modernisme.
Kalau yang dilakukan mereka adalah menciptakan istilah baru yang menyesali kekeliruan anggapan tersebut, maka buat kita, apa yang harus kita lakukan? Bagi yang menyimak tulisan ini, saya rasa kita akan sepakat untuk menelusuri kembali tapak – tapak yang membawa kita kepada nilai – nilai yang sejati. Kita lakukan perubahan cara pandang untuk lebih terbuka, menengok kembali nilai – nilai yang pernah kita anggap usang, kolot, dan tidak modern. Jangan – jangan ada nilai jati diri sebenarnya yang memang sudah kita lupakan. Seperti gotong royong, arisan, swadaya masyarakat, koperasi, Jala ikan bersama, mengaji, pencak silat dan banyak hal lainnya yang sebenarnya mengandung nilai tinggi dan solusi.
Seperti gotong royong dan swadaya masyarakat. Dulu untuk membangun jalan desa, semua warga ikut serta, sumbang segala macam, dari duit, tenaga, makanan, link and match agar jalan desa terbangun. Semua orang ada sahamnya dan semua orang layak menikmati hasil kerja keras bersama. Sekarang ada yang namanya jalan tol, mau lewat saja harus bayar. Bayarnya sih ngga masalah. Yang jadi masalah, berapa ribu warga yang rumah dan tanahnya terpaksa digusur atas nama peraturan, kebijakan dan kepentingan bersama menderita kerugian. Alih – alih diberi ganti rugi dengan harga yang murah, kenapa tidak mereka saja yang menjadi pemegang saham jalanan tol yang akan dibangun? Kalau itu saja dilakukan, berdasarkan nilai yang kita ambil dari swadaya jalan desa jaman dahulu, warga pasti senang. Kemajuan mendatangkan keuntungan, win – win solution, anda nyaman kami senang, anda untung kami untung, semua mendapat manfaat dari modernisasi yang diterapkan.
Demikian contoh memaknai kembali arti modernisasi. Baik itu dalam skala pembangunan bangsa, menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, serta membangun peradaban bangsa melalui kreatifitas yang tinggi dalam mengolah kembali kekayaan budaya dan nilai – nilai leluhur yang tidak kalah bernilainya dari segala kekayaan alam yang Tuhan sudah limpahkan untuk kita. Jadi silahkan beli android baru dan semoga dengan itu mempermudah anda untuk menjadi manusia Indonesia paling modern versi teori saya ini heuheu. Demikian dari saya, semoga bermanfaat.
Doddy Hidayat
Konsultan Kreatif
Doddysaja@gmail.com
Artikel Terkait:
1. Kenapa Masyarakat Mudah Beringas
2. Peraturan Dibuat Untuk Dilanggar
3. Hardship & Worship, Koreksi Terhadap Sekularisme
4. Seandainya Mau Bertanya Pada Bumi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H