Mohon tunggu...
Doddy Haripriambodo
Doddy Haripriambodo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dulu menulis di Mading, kini menulis di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jalan Tol Cipali Jalan Tol yang dinanti

21 Juni 2015   01:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:42 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para pemudik Lebaran tahun ini mendapat hadiah istimewa yaitu siap beroperasinya Jalan Tol Cikopo Palimanan (JT Cipali). Pemberitaan tentang JT Cipali mendominasi pemberitaan berbagai media khususnya berita infrastruktur. JT Cipali merupakan bagian dari rencana jalan tol trans jawa yang sudah mulai diwacanakan sejak pertengahan tahun 1990 an. Penulis sendiri belum mencicipi berkendara melalui JT Cipali,  namun banyak orang sudah mewartakan singkatnya perjalanan dari Cikampek hingga Cirebon yang kini dapat ditempuh dalam waktu 2 - 3 jam saja. Bandingkan dengan waktu tempuh sebelum JT Cipali ada yang berkisar antara 5 - 6 jam, artinya ada penghematan waktu sebesar 50%.

Jalan tol sesungguhnya memiliki fungsi sama dengan jalan non tol. Ingatan penulis melayang kepada perdebatan sekitar awal tahun 2013 tentang rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta yang ditentang sana sini oleh berbagai pihak. Jokowi yang saat itu baru saja dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak memiliki sikap yang tegas dan konsisten terhadap rencana jalan tol ini. Saat itu banyak orang melihat jalan tol dalam konteks wakil kepentingan investor dan orang berduit. Ditimbulkan kesan bahwa yang berhak menggunakan jalan berbayar hanyalah orang-orang berduit yang memiliki mobil. Kesan semacam ini jelas tidak berdasar, karena tidak pernah ada data yang menunjukkan bahwa jalan tol hanya dilewati oleh orang - orang berduit. Jalan tol dilewati oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari penggangguran hingga direktur perusahaan besar. Padahal dengan fakta bahwa luas jalan di Jakarta hanya 6% dari luas total kota Jakarta, maka pembangunan dan penambahan ruas  jalan adalah hal yang mutlak, tidak peduli jalan tersebut jalan tol, non tol atau jalan apapun statusnya.

Menurut UU Jalan no. 38 tahun 2005, sebuah ruas jalan tol sebetulnya bersifat alternatif dalam arti sebelum jalan tol dibangun, sudah harus lebih dulu ada jalan yang disediakan oleh pemerintah secara gratis. Sebagai contoh, sebelum jalan tol Jagorawi dibangun tahun 1978, perjalanan Jakarta - Bogor dilayani oleh jalan raya bogor yang digunakan secara gratis. Contoh lainnya adalah jalan tol tangerang merak yang didahului oleh jalan negara tangerang - serang - cilegon - merak. Indonesia adalah negara ASEAN yang paling awal membangun jalan tol (1978), yang kemudian disusul oleh Thailand (1980 an awal) dan Malaysia (1990 an awal). Meskipun perintis jalan tol, progress ketersediaan jalan tol di Indonesia berangsur tertinggal khususnya dari Malaysia. Salah satu milestone penting kebangkitan industri jalan tol adalah berdirinya Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pada tahun 2004 dan terbitnya UU jalan no. 38 tahun 2005. Titik kebangkitan lainnya adalah jaminan pemerintah terhadap investasi jalan tol dengan kenaikan tarif jalan tol setiap dua tahun yang setara dengan nilai inflasi.

Penulis pernah melakukan studi terhadap risiko investasi jalan tol di Indonesia berdasarkan data pembangunan ruas jalan tol hingga tahun 2005. Kesimpulan yang diperoleh adalah kategori risiko investasi berada pada tingkat sedang. Mengapa risiko sedang, bukan rendah atau tinggi? Risiko investasi tidak rendah karena adanya risiko kenaikan harga pembelian tanah yang berada di luar kendala investor.  Risiko tidak tinggi, karena adanya regulasi dan jaminan pemerintah yang semakin baik dari waktu ke waktu terbukti dengan adanya BPJT dan UU no. 38. Dalam beberapa tahun terakhir ini bahkan pemerintah sudah menyiapkan dana bergulir (revolving fund) yang dapat digunakan investor dalam pembebasan lahan, yang memungkinkan risiko investasi ditekan lebih rendah.

Kembali ke JT Cipali. Kemanfaatan tentu tidak hanya dirasakan dalam aspek pergerakan orang, tetapi lebih dari itu akan meningkatkan mobilitas pergerakan barang. Sejauh penulis pernah membaca dalam satu artikel, bahwa ruas jalan pantura memberikan kontribusi lebih dari 20% terhadap total distribusi barang di Indonesia. Bila kini perjalanan Cikampek - Cirebon menjadi lebih singkat 50%, seharusnya efisiensi mobilisasi barang dapat dihitung dan masyarakat menikmati harga pembelian yang lebih murah. Manfaat lain adalah beban jalan negara pantura akan sangat berkurang. Dengan latar belakang penulis sebagai sarjana teknik sipil, penulis mengganggap wajar bila jalan pantura kerap mengalami kerusakan karena beban kendaraan industri yang sangat luar biasa. Saat penulis bekerja di salah satu investor dan operator jalan tol selama periode 2002 - 2007, penulis kerap mendapati beban truck mencapai lebih dari 40 ton dari seharusnya 20 ton beban maksimum. Kelebihan beban 20 ton akan menimbulkan daya rusak jalan berpangkat empat, artinya usia perkerasan jalan akan jauh lebih pendek. Bila secara normal sebuah ruas perkerasan jalan didesain untuk 50 juta smp (satuan mobil penumpang) dalam 5 tahun, maka akibat kelebihan muatan, usia jalan hanya kurang dari satu tahun karena angka 50 juta smp sudah tercapai sebelum satu tahun.

Selamat menikmati JT Cipali dan salam Kompasiana.

     

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun