Mohon tunggu...
Doddy Haripriambodo
Doddy Haripriambodo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dulu menulis di Mading, kini menulis di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kota Kupang Tahun 1999

24 November 2014   23:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:57 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu saya adalah seorang young civil engineer. Baru sekitar empat tahun bekerja sejak lulus dari Universitas.  Seingat saya, kalender tertulis tahun 1999, ya.....sudah 15 tahun yang lalu. Tugas kantor mengharuskan saya berangkat survey ke Nusa Tenggara Timur khususnya kota Kupang bersama Team Leader. Ingatan bertugas ke NTT kembali menyeruak melihat teman - teman Kompasiana banyak menuliskan pengalaman travel ke wilayah- wilayah timur Indonesia.

Mendarat di Bandara El Tari saat matahari terik bersinar. Yang saya ingat, terminal bandara sangat kecil, tetapi memiliki lahan parkir mobil yang luas. Bangunan terminal dalam kondisi kurang terawat. Keluar dari Bandara El Tari menuju Kota Kupang, pemandangan gersang dan panas ngenthak - ngenthak mendominasi. Perjalanan ke Kota Kupang sekitar 30 - 45 menit, cukup jauh, menimbang lalu lintas cenderung sepi. Terkadang saya jumpai bangunan rusak dan menyisakan warna hitam gosong di beberapa bagiannya. Supir yang membawa kami, mengatakan bahwa bangunan tersebut adalah sisa - sisa kerusuhan tahun 1998.

Tiba di hotel yang berada di tengah Kota Kupang. Saya sudah tidak ingat nama hotel tersebut. Yang pasti hotel tersebut terletak sedikit masuk dari jalan besar dan jalan masuk agak menanjak. Hotel tidak terlalu wah, kamar terletak berjajar mirip cottage. Saya yakin lokasi hotel merupakan pusat kota karena didepan jalan masuk hotel ada bundaran (apa benar bundaran merupakan ciri pusat kota...?). Yang unik dari hotel ini ada dua, yaitu masalah sarapan pagi atau makan siang atau makan malam. Keunikan kedua, keleluasaan penjual jamu gendong dan penjual lainnya masuk ke area hotel. Mengapa masalah makan menjadi keunikan? Hotel tersebut tidak ada bagian F&B nya. Bila kita ingin makan pagi, maka kita diberi semacam voucher untuk makan di restoran di seberang jalan. Memang praktis buat pengelola hotel...tapi gempor untuk customer hotel. Menu utama di restoran itu adalah nasi campur. Wah....campur apa ya? Ternyata mirip nasi rames. Keunikan lainnya adalah sliwar sliwernya penjual jamu dan kacang rebus ke area hotel. Team Leader saya coba - coba membeli jamu gendong van Kota Kupang. Ternyata si mbok jamunya asli Wonogiri dan sudah tinggal di Kupang selama 5 tahun. Wah benar - benar pejuang kehidupan. Bukan isapan jempol bila perantau asal tanah jawa merantau jauh ke timur Indonesia ke daerah - daerah seperti Kupang ini. Pedagang kacang rebus juga unik. Kacang rebus dijajakan dengan pikulan dan ditawarkan per-ikat. Satu hal yang saya ingat, kulit kacangnya kotor menyisakan tanah yang sepertinya ikut direbus tanpa dicuci lebih dulu.

Sampai disini dulu cerita tentang Kota Kupang tahun 1999. Saya akan sambung dalam artikel berikutnya. Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun