Aku kehilangan peta
Mengeja makna kepulangan
Dari puing-puing halaman yang tersisa
Â
De Sundayana menulis larik-larik di atas, pada barik terakhir dalam puisinya yang berjuluk Kehilangan Peta. Barik di atas adalah traktat politik individual, yang menguar dari rasa murung seseorang saat berinteraksi dalam sosial-kultur bangsa Indonesia terkini, terutama yang berlasung dan terselenggara di kawasan-kawasan borderline (perbatasan).Â
Ada banyak manusia merasa teralienasi dan tercerabut dari sesuatu yang dianggapnya sebagai akar, untuk menjalar ke depan, menjadi cabang dan ranting, bertumbuh menjadi pohon yang rindang, gemah ripah loh jinawi. Namun jalan di depan kini, tampak terjal, luak-liuk dan berkelok, seperti memasuki kota mesteri yang dihuni banyak hantu, dan kertika berdialog dengan diri sendiri, terasa ini jiwa dan raga, seperti pohon yang makin sebatang kara. Kondisi seperti itu, paling mudah dibahasakan dengan larik-larik lirisistik.
Sejatinya puisi liris di Indonesia, memang didominasi oleh diksi kemurungan, muram, kadang menggerutu sambil memunggungi yang digerutui. Ada sejumlah puisi liris yang menghujat, dengan gayabahasa ironis, satiristik, dan sarkastik, seperti yang ditulis Wiji Thukul. Namun entah kenapa, puisi seperti itu termasuk langka muncul ke permukaan dan menjadi pembicaraan.
Dalam konvensi penulisan puisi, ada istilah puisi liris, puisi naratif, dan puisi dramatik. Konvensi tersebut telah lama diakui dan digunakan oleh para pengamat atau peneliti sastra, termasuk saya ikut meyakininya (Fauji, Menghidupkan Ruh Puisi, 2018).
Apapun bentuk atau jenisnya, saya meyakini, karya literasi akan menjadi larik-larik dokumentasi peristiwa pada suatu kurun. Para sejarawan, sosilog, dan antopolog yang mencoba memasuki kehidupan di jaman buhun misalnya, salah satunya melakukan konfirmasi dan tafsiran terhadap karya sastra yang pernah ditulis pada jaman itu. Pada tahun 3.000, para antropolog yang merumuskan kehidupan di tahun 2.000-an, saya yakin, akan melakukan konfirmasi hasil penelitiannya, pada traktat yang ditulis para penyiar.
Sebuah pertanyaan pernah dilayangkan seorang profesor dari Rusia kepada saya, dalam seminar membaca budaya Indonesia terkini, di Moscow Government University sekira April 2004, adalah tentang puisi-puisi Indonesia yang disesaki diksi-diksi murung dan muram, bahkan ketika menyatakan cinta, kenapa seperti itu?
Saya jawab waktu itu, puisi memang saksi jaman, dan bangsa kami yang lama dijajah, kini pun masih dijajah oleh para borjuase dan oligarkhi, yang mencekik dengan sistem perekonomian kapitalisme-liberalistik. Mayoritas penyair bukan dari kalangan menengah menuju 'the have,' malah cukup banyak penyair yang menjalani kehidupan bohemian, dan sebagai manusia, ia ikut merasakan dan menyaksikan sendiri ketimpangan antara segelintis 'the have' yang menjajah kalangan bawah lewat struktur dan regulasi. Pengalaman dan kesaksiannya itu, didokumentasikan melalui diksi-diksi murung dan muram. Penggalan barik gubahan Dhe Sundayana di atas, adalah pembuktiannya.
Puisi pertama dalam antologinya, diberi judul 'PEKERJA HARIAN', berisi seperti di bawah.
Pukul enam
langit putih tapioka
ada awan di sepasang mata
ada gigih di satu jiwa
dan wajahmu musim penghujan