Mohon tunggu...
Doddie Faraitody
Doddie Faraitody Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

penganut ideologi pertemanan | penikmat dan pemerhati musik indie & bawahtanah | nigtwalker-day sleeper | wisatawan asing dari negara dunia ketiga | PSK : Pekerja Seni Komersil

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Seharusnya Pemimpin Kita Belajar Pada Vladimir Putin

7 Januari 2010   01:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:35 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kau pikir agama adalah alat,

mengikuti ajaran moral sesaat,

menjual nama tuhan, nama nabi,

nama kitab suci dan semua yang kita segani ?

(ajaran moral sesat – koil)

[caption id="attachment_63897" align="alignleft" width="228" caption="Vladimir Putin - google.com"][/caption]

Vladimir Putin, Presiden Rusia terpilih sebagai People ofthe Year tahun 2007 versi majalah Time. Putin dianggap mampu mengembalikan kejayaan Rusia yang porak-poranda pasca bubarnya Uni Soviet oleh badai kebebasan dalam bidang politik dan ekonomi yang dikenal dengan glasnost dan perestroika pada akhir dekade 90an.

Putin menyebutkankan 3 konsepnya dalam memimpin Rusia sehingga bisa kembali sejajar dengan negara-negara eropa lainnya bahkan Amerika Serikat.

Pertama, common sense - akal sehat. Seorang pemimpin haruslah memimpin, menjalankan pemerintahan berdasarkan akal sehat, bukan berdasarkan kepada hal-hal yang bersifat tahayul atau kekuatan gaib. Seorang pemimpin tidak perlu takut dengan kekuatan ilmu hitam yang akan menyerang dirinya sehingga mengadakan semacam selamatan untuk mengusir kekuatan ilmu hitam tersebut ketika masa kampanye dan menjelang waktu pemilihan.

Kedua, morale - moral. Akal sehat harus berdasarkan moral tidak hanya berdasarkan logika pemikiran semata. Ketiga, religion - agama. Adalah tidak mungkin memiliki moral dipisahkan dengan nilai-nilai spiritual, bukan sekedar nilai-nilai relijius. Pemahaman spiritual tidak terpaku pada simbol-simbol agama, tetapi lebih kepada substansi beragama. Berorintasi pada akhlak dalam pembentukan karakter, bukan sekedar pada hukum sehingga akan bertindak hati-hati tanpa menghakimi dengan dalih sebagai wakil Tuhan. Garis perjuangan bersifat sosial untuk kepentingan bersama.

Negara Rusia yang menganut paham materialisme, yang katanya atheis dan tidak bertuhan ternyata pemimpinnya bisa menjalankan nilai-nilai spiritual sehingga mampu membangun kembali negaranya yang sempat terpuruk dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Bagaimana dengan Indonesia? Negara yang sejak awal merdeka sudah mengakui adanya Tuhan yang terkandung dalam konsep Pancasila tetapi tetap dalam keterpurukan walau sudah merdeka selama 64 tahun. Bagi pemimpin Indonesia, agama hanya sebatas pada simbol-simbol yang miskin subtansi dan hanya menjadi bahan dagangan selama masa kampanye. Setelah itu Para pemimpin jauh dari nilai-nilai spritual dan hanya berjuang untuk kepentingan individu dan kelompoknya semata.

(sedikit catatan dari Refleksi Awal Tahun - Silaturahmi Alumni HMI KoorkomUniversitas Jayabaya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun