Mohon tunggu...
Fanny Jonathans Poyk
Fanny Jonathans Poyk Mohon Tunggu... -

Halo, saya seorang penulis puisi, cerpen, novel, novel misteri, buku-buku motivasi. Saya juga menerima tulisan pesanan (Ghost Writers), skenario, tulisan biografi, artikel pendidikan dll. Saat ini saya bekerja sebagai editor dan redaktur di sebuah majalah pendidikan pemerintah. Saya suka menyanyi dan traveling. Musik kesukaan saya Jazz, R&B, Swing, slow rock, bossanova, keroncong, dll. Saya suka nonton film dg akting yg kuat dan penuh karakter. Itulah saya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Elegi Panjang

15 Maret 2011   10:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:46 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com



Oleh  :   Fanny J.Poyk

Lelaki berusia enam puluh lima tahun itu melap peluh yang membasahi kening, pipi dan dagunya. Rambut ikalnya mulai memutih, matanya sayu memandang kosong ke bukit-bukit gundul berbatu karang yang diselingi pohon-pohon lontar. Semua panorama bernuansa kering  kerontang itu mengitari gubuk reotnya. Dari gubuk itu pula, ia bernyanyi, sebuah nyanyian rindu bernada sendu pada orang-orang yang dikasihinya, sebuah elegi panjang yang tak pernah terjawabkan. Nyanyian itu berulang-ulang ia senandungkan. Entah sudah berapa belas tahun ia melakukannya, namun usai  bernyanyi, kehampaan kembali menerpanya. Ia lagi-lagi digerogoti rasa rindu yang tak pernah terjawabkan.

Sesekali, lelaki itu menghisap rokok yang ia beli di pasar tradisional yang ditempuhnya berpuluh-puluh kilo dari tempat tinggalnya.  Rokok yang baginya sangat mahal itu hanya mampu dibelinya setahun sekali. "Saya tidak punya pensiun, jadi saya tidak punya uang  untuk membelinya setiap saat." Katanya selalu jika ada orang yang menanyakan perihal asal-usul rokok itu.

Garis-garis tajam dan tegas memenuhi hampir seluruh wajah lelaki itu. Kulitnya  yang coklat legam, kian bersinar tatkala tertimpa mahari. Kulit itu mengeras, liat seperti  lapisan luar kulit sapi. Seharusnya ia belum boleh menjadi setua ini, namun, itulah kenyataan yang terjadi, seluruh guratan di wajahnya merupakan saksi bisu tatkala ia memanggul senjata menjadi prajurit garis depan saat mempertahankan kedaulatan negara ini di bumi Timor Loro Sae.

"Tapi itu sudah lama berlalu. Ketika kedaulatan yang kami perjuangkan diberikan kembali, kami hanya bisa termangu. Sia-sia semua perjuangan kami. Untung saja aku tidak mati. Hanya ..."

Lelaki itu menarik nafas panjang. Ia bangkit dari bale-bale kusam yang menjadi tempat tidurnya. Lalu berjalan menuju ke halaman depan yang luasnya sekitar seratus meter, mulai mengayunkan cangkulnya, mencoba membelah tanah gersang perbukitan yang ada di hadapannya untuk menanam singkong, ubi dan tanaman lain yang bisa bertahan di lahan kering itu.

"Hanya ini yang tersisa. Aku tidak punya apa-apa lagi. Tanah ini pun milik penduduk setempat, jika desa adat meminta kembali, aku harus merelakannya. Seterusnya aku tidak tahu hendak tinggal di mana lagi." Keluhnya.

Bunyi tanah yang dibelah berpacu dengan jalannya matahari ke ufuk barat. Lelaki itu kembali melap peluhnya. Sekejap ia menghentikan pekerjaannya, mengambil tempat air minum kusam yang ada di bale-bale depan beranda gubuknya. Kemudian jakunnya bergerak teratur menenggak air  untuk memuaskan dahaganya.

"Meski di garis depan, aku tidak mati diterjang peluru. Aku bersyukur tidak tewas, namun demikian ada rasa duka di situ. Ya, tatkala provinsi itu berubah menjadi negara merdeka, hidupku kaca balau. Aku harus berlari dan keluar dari negara itu. Seandainya aku memilih tinggal, hidupku pun tak lagi nyaman. Aku akan dicap pemberontak, pembelot, dan tidak setia. Di sana nyawaku sewaktu-waktu bisa lenyap. Siapa saja bisa menjadi mata-mata, siapa saja bisa berubah menjadi musuh. Aku memilih kembali ke tanah ini. Dan resiko itu amat berat, anak dan isteriku tak boleh ikut. Ada yang menahan mereka di sana..."

"Menahan, maksudnya?"

Laki-laki itu menitikkan air mata, kemudian ia menghapus air mata itu dengan punggung tangannya. "Kau tak tahu, Nak, betapa luka hatiku ketika mereka merenggut orang-orang yang kucinta. Sangat sakit...ah aku tak kuasa untuk menuturkannya."

Kemudian lelaki itu kembali mengayunkan cangkulnya. Punggungnya yang legam kian berkilat tertimpa cahaya matahari. Matanya menyipit, memandang cakrawala yang sedikit demi sedikit mulai meredup. "Aku tidak tahu seperti apa mereka sekarang. Karena sejak itu kami putus hubungan. Pastinya anak-anakku telah dewasa, puteriku tentunya sangat cantik, dan puteraku tampan, Ibu mereka keturunan Portugis. Mungkin rupa mereka sebagus rupa ibunya."

Ketika senja tiba, lelaki itu kemudian menata barang-barang bawaannya, ia kembali ke gubuk reot terbuat dari pohon lontar yang bertahun-tahun telah dihuninya. Desanya, desa Maumutin mulai sepi. Hari menjelang malam,  penduduk telah masuk ke rumah masing-masing. Lelaki itu bergumam, "Sebaiknya memang mereka berada di sana. Sebab jika mereka ikut denganku, nasib mereka akan sesulit aku. Ya, sebaiknya mereka tetap menetap di Dili..." Katanya sambil memanggul cangkulnya

***

Di atas bale-bale dari kayu lontar, lelaki tua itu duduk sembari mengangkat kakinya. Sebatang rokok yang kuberikan, menempel di bibirnya. Di lantai tanah yang coklat pekat itu, ia mencoba terus bertahan dengan keadaan yang harus ia terima. Matanya kosong. Ada sinar bening mengambang di sana.

"Aku masih ingat peristiwa perang saudara 1976 hingga 1980, ketika itu aku berjuang di garis depan. Banyak penduduk dan tentara Falintil tewas. Jumlah mereka yang binasa hampir 100.000 hingga 250.000 orang. Ketika Tim Tim berhasil kami rebut, secercah kebahagiaan muncul, aku membayangkan kehidupan perekonomianku akan membaik. Isteri dan anak-anakku bisa hidup tenang, hidup dari gaji seorang prajurit berpangkat rendah. Tapi,  roda bergulir sengat cepat dan arahnya tak bisa kutebak. Ketenanganku terusik. Terlebih lagi ketika provinsi itu merdeka. Nasibku yang gelap menanti di ujung sana, aku bingung. Aku harus memilih ikut siapa. Jika aku menjadi warga negara Timor Leste, mereka menuduh aku antek pemerintah Indonesia yang anti kemerdekaan, jika aku memilih Indonesia, anak-anak dan isteriku tidak boleh ikut denganku. Mereka juga tampaknya  lebih suka menjadi warga negara Timor Leste. Hhh...akan tetapi  sesungguhnya ada sesuatu yang tragis terjadi di sana. Isteriku, isteriku..."

"Mengapa dengan isteri, Bapak?"

Laki-laki itu kembali menangis. Di antara suara seraknya ia berkata, "Laki-laki keparat itu merebut isteriku yang cantik. Ia merampas tulang rusukku, ia merampas semua kebahagiaanku. Mereka berpacaran, isteriku meninggalkanku. Dia meninggalkanku dengan membawa dua anak kami. Aku tak punya kekuatan untuk menarik mereka kembali. Aku tak punya kekuatan, karena jika itu kulakukan, laki-laki itu dan teman-temannya akan membunuhku."

Lelaki itu mengetuk-ngetuk tanah dengan ujung cangkulnya. Air mata mengalir perlahan di pipinya.

"Sekarang, setelah Tim Tim merdeka, kesempatan untuk bertemu dengan anak-anakku tertutup rapat. Mereka pasti sudah besar-besar. Mereka tentunya tak bisa berbahasa Indonesia lagi. Menurut khabar saudara-saudaraku yang pernah datang ke sana, mereka telah lupa Bahasa Indonesia, mereka hanya bisa berbahasa Tetun atau Portugis."

"Apakah Bapak sudah berusaha menemui mereka?"

"Sudah, tapi saat aku datang ke Dilli, semuanya kacau...kacau..."

"Maksudnya?"

"Isteriku sudah menikah dengan laki-laki itu. Pria itu menuduhku mata-mata yang sedang menyusup. Ia berteriak memanggil warga sekitar, penduduk datang, mereka hendak membunuhku, nyawaku terancam, dan aku hampir saja mati terbunuh. Laki-laki itu hampir menembakku. Ia memukulkan popor senjata ke wajahku. Ketika aku sadar, tubuhku telah berada di wilayah Indonesia. Dia melempar tubuhku seperti melempar seekor anjing yang telah mati."

Kembali laki-laki itu termenung. Senja mulai berganti warna, hitam pekat. Suara jengkerik dan binatang malam terdengar susul-menyusul. Lelaki itu mengambil singkong yang telah matang dari perapian yang masih berasap.

"Aku bingung. Mengapa nasibku seperti ini. Padahal, aku telah mempertaruhkan nyawa untuk merebut negara itu. Sungguh sangat tak adil."

Lelaki itu bernama lengkap Abraham Guiteres. Ia asli Tim Tim tepatnya dari Bobonaro. Kini ia bermukim di Belu, sebuah kabupaten yang sangat dekat dengan Timor Leste.  Ketika aku kembali mengunjunginya, di depan rumahnya telah ada lubang besar berukuran dua kali satu meter. Kutanyakan untuk apa lubang itu? Ia meringis.

"Suatu saat, jika kau kemari lagi, kau akan tahu. Nak, tanah ini bukan milikku. Sudah kukatakan ini milik desa adat. Jika mereka mengusirku, aku telah siap."

"Siap, maksudnya?"

"Sudah kubilang nanti kau akan tahu..."

Dan itulah pertemuanku yang terakhir kali dengannya. Ketika aku datang lagi, gubuk reot yang terbuat dari kayu pohon lontar itu, kosong dan sepi. Di atas meja kayu kasar buatannya ada secarik kertas. Di kertas itu tertera huruf-huruf yang elok dengan baris rata tanpa cacat. Bunyinya demikian:   Nak Irfan, jika kau datang lagi ke tempat ini, kau pasti tak akan pernah menemuiku. Penyakit paru-paru yang kuderita terlalu menyakitkan. Malam ini aku batuk-batuk darah. Aku tahu hari kematianku semakin dekat. Jadi sebelum penderitaanku bertambah parah, aku mengubur diriku hidup-hidup di lubang yang kugali itu. Tolong perbaiki kuburanku jika di atasnya tidak terlihat rapi. Tolong juga muat kisahku ini di koranmu, katakan aku sayang dan rindu pada anak-anak dan isteriku. Aku berharap mereka bisa membaca dan mengetahuinya.



Kulipat surat itu. Air mataku menitik. Kuambil pacul yang ada di sudut beranda, lalu kurapikan makam lelaki yang bernama Abraham Guiteres itu sesuai dengan permintaannya.  Saat itu gerimis luruh ke bumi. Makam itu basah, tanahnya perlahan-lahan memadati lubang yang berisi tubuhnya, di dalam sana elegi panjang Abaraham berakhir sudah, ia telah menamatkan kisah pedihnya nya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun