Kata bentukan “mengambang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat berarti “terapung-apung” atau “tidak jelas” atau “merintangi”. Pada zaman rezim Orde Baru dulu Pemerintah menerapkan kebijakan politik “massa mengambang”, maksudnya rakyat diletakkan pada posisi tidak berafiliasi pada partai politik tertentu selama periode lima tahunan, yaitu antara hajatan Pemilihan Umum satu dan Pemilihan Umum berikutnya. Tujuan pokoknya adalah untuk menjauhkan rakyat dari urusan politik. Dengan kata lain, biarlah urusan politik atau negara diserahkan kepada (ahlinya?) para pimpinan negara dan elit politik saja. Pada waktu itu figur kepemimpinan Pak Harto sangat dminan dan kuat, sehingga boleh jadi ide pemberian nama “mengambang” itu datang dari beliau. Yang jelas, julukan atau predikat “mengambang” yang disandangkan kepada rakyat itu bukan kemauan rakyat, tetapi diberikan oleh pihak lain, dalam hal ini pemerintah. Soalnya, orang yang pernah hidup di lingkungan perdesaan pasti pernah menemui atau menyaksikan barang-barang atau benda-benda yang hanyut di sungai, seperti potongan balok, dahan atau ranting, dan tak tertutup kemungkinan (maaf) tai atau kotoran manusia. Meski sesungguhnya yang disebut terakhir jarang sekali ditemui, karena saat itu kondisi sungai dan debit airnya masih besar dan lancar. Namun demikian mudah dibayangkan bahwa barang atau benda yang hanyut di atas air yang mengalir jalannya (menjadi) tak tentu arah, sehingga suatu saat sekali-sekali tersangkut dan “singgah” di mana dan ke mana saja arus air membawanya.
Rezim Orde Baru hilang, era Reformasi datang, demikian sejarahnya. Kedua periode tersebut dalam pelaksanaan ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan pada awalnya sangat berbeda secara diametral. Namun belakangan ini bertiup angin kencang wacana dan niat untuk memutar arah jarum jam agar kehidupan politik Indonesia kembali ke zaman Orde Baru. Hal ini dapat ditandai dengan semangat yang tersembul dan terartikulasikan dalam sikap dan istilah yang digunakan. Kalau zaman Orde Baru dulu rakyat disebut sebagai “massa mengambang”, sekarang ada sebuah Partai Politik yang menyebut dirinya sebagai “penyeimbang”. Sebuah istilah yang pengertian dan semangatnya hanya “beda-beda tipis” saja dengan istilah “mengambang”. Sehingga kalau demikian halnya, maka rakyat sekarang boleh juga (dong) menyebut dan menganggapnya sebagai (PAR) TAI MENGAMBANG.
MENAKAR KARAKTER DAN KENEGARAWANAN PARTAI POLITIK
Jokowi di Mata Anggota DPRD DKI
Opera demi opera plitik digelar pasca diselenggarakannya Pileg dan Pilpres beberapa bulan lalu. Tak dapat dipungkiri memang sebuah tontonan menarik yang telah berhasil menyedot perhatian publik di seluruh tanah air, tak terkecuali sidang paripurna yang digelar DPRD DKI untuk mendengarkan penyampaian pandangan fraksi-fraksi atas kemunduran diri Jokowi dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sebagaimana sudah dapat diduga dan diperkirakan bahwa fraksi-fraksi yang tergabung dalam KMP substansinya pasti akan bernada kritik keras bahkan cemoohan, mulai dari tugas-tugas sebagai Gubernur DKI yang belum selesai namun ditinggalkan “begitu saja” di tengah perjalanan demi ambisi kekuasaan lebih besar hingga memanfaatkan karir gubernur sebagai batu loncatan. Namun dalam episode itu ada dua hal yang menarik. Pertama, hampir semua fraksi berbicara mengenai etika, karena pencalonan Jokowi sebagai presiden dan pengunduran dirinya sebagai gubernur DKI belum diatur dalam undang-undang. Etika adalah sebuah tatanan dan pedoman berperilaku tidak tertulis yang dilaksanakan oleh orang yang telah mencapai tingkat rasa malu, harga diri dan martabat yang tinggi. Etika berada lebih tinggi di atas hukum positif, karena ia bergerak di atas landasan kesadaran dari dalam (hati). Dengan kata lain, orang yang melaksanakan etika hampir dapat dipastikan taat hukum. Sedangkan orang yang (mau) menaati hukum belum tentu melaksanakan etika. Jika fraksi Gerinda dengan tegas dan penuh percaya diri dalam menyampaikan pandangannya memberikan catatan dan kritik pedas, tidak demikian dengan fraksi PKS, PPP dan Golkar. Mungkin karena menyadari beberapa politisi penting mereka terjerat kasus hokum, sehingga mereka lebih memilih bersikap “tahu diri” dan rendah hati. Kedua, yang mengherankan sekaligus menggelikan adalah fraksi Partai Demokrat yang bergabung ---mungkin lebih tepat disebut bersembunyi di balik--- fraksi PAN dalam menyampaikan pandangan yang cukup keras dan pedas itu. Berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh ketiga partai di atas terkesan gentle (satria), kalau benar karena dengan maksud bersembunyi untuk “nabk nyilih tangan” (peribahasa Jawa, artinya memukul dengan meminjam tangan orang lain,mirip dengan peribahasa “lempar batu sembunyi tangan), maka Partai Demokrat sudah sejak lama memang mengidap kelainan atau sakit jiwa yang diberi nama pengecut atau hipokrisi, suatu sifat yang sangat dikecam dalam ajaran Islam. Seperti dapat terlihat perilaku politiknya dalam perebutan pimpinan MPR yang dengan mengabaikan etika tiba-tiba menyalip dan mendepak PPP sehingga terpental dari bursa calon pimpinan MPR. Atmosfir ketegangan dan “adu kuat” antara kubu KMP dan KIH ditengarai karena perasaan saling curiga dan khawatir yang laten dan fundamental untuk kelangsungan dan eksistensi antar kedua pihak di masa yang akan datang. Program “bersih-bersih” (dari mafia dan korupsi) dan efisiensi yang digembar-gemborkan dan akan dilaksanakan kubu KIH akan berimbas dan “melibas” dominasi ekonomi kubu KMP yang telah lama menggurita dan menguasai negeri ini. Oleh karenanya, kubu KMP dengan akrobat politiknya membalas “ancaman” itu dengan “contra ancaman” melalui agenda parlementernya yang sebagian kalangan menilai berpotensi akan “membungkam” dan “menjegal” dengan meng-”GusDur”-kan Jokowi di tengah jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H