Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menakar Karakter Pemimpin Bangsa

28 Februari 2014   17:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:22 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Andai saja semua aparat terkait seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), TNI-POLRI-BIN benar-benar bersikap netral, dan proses pemilihan umum sungguh-sungguh jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia, lalu sistem pemerintahan benar-benar pemerintahan presidensial –bukan pemerintahan seolah-olah presidensial—di mana DPR menjalankan peran dan fungsinya secara benar dan tepat, sementara proses penegakan hukum berlangsung dengan benar dan adil, maka tugas dan langkah rakyat selaku pemilik mandat dan suara dalam menentukan pilihannya untuk presiden (berikut wakil presiden) dan juga legislator akan lebih ringan, mudah dan sederhana. Pengamatannya lebih difokuskan pada calon presiden (berikut calon wakil presiden). Karena dalam sistem pemerintahan presidensial peran seorang presiden sebagai pemain dan eksekutif –ibarat permainan sepak bola-- sangat sentral dan menentukan untuk membawa bangsa dan negara mencapai goal bersama, yakni Indonesia sejahtera berkeadilan, seiring sejalan dengan DPR sebagai konfederasinya. Sebagaimana diketahui bahwa posisi jabatan presiden hanya satu. Artinya, rakyat Indonesia yang plural ini harus dan hanya dapat menunjuk satu orang saja sebagai presiden. Yang menjadi pertanyaan, siapa dan seperti apa profil idealnya?

Pasca runtuhnya Orde Baru selama kurun waktu era reformasi telah terjadi mobilitas vertikal cukup mencolok di kalangan warga masyarakat asal Sumatera dan Sulawesi, baik di bidang usaha maupun profesi, dibandingkan dengan kebanyakan warga masyarakat Jawa. Sebagian di antaranya adalah mereka yang menjadi “besar” berkat kekuasaan Pak Harto, namun ikut-ikutan menghujat begitu kekuasannya runtuh. Berangkat dari keberhasilan itu, seiring dengan kesempatan yang kian terbuka lebar, mereka beramai-ramai memasuki dunia politik – yang banyak melahirkan petualang politik. Sangat boleh jadi karena faktor sukuisme yang (masih) melekat kuat pada umumnya mereka bersikap eksklusif saat berada di atas panggung kekuasaan sebagai pejabat publik. Mantan Wapres JK yang dikenal “merakyat” saat menjabat konon di sekelilingnya banyak “dipagari” oleh orang-orang dari sesama sukunya. Setali tiga uang, bang “Kumis” yang mantan Gubernur DKI yang Betawi (peranakan?), sepanjang masa jabatannya rajin sekali menyambangi majlis-majlis taklim berikut habaibnya yang memang menjadi “hobi” sekaligus memang merupakan ciri khas komunitas masyarakat Betawi. Fenomena serupa yang mencerminkan jiwa sempit dan eksklusif itu juga terjadi pada lapisan masyarakat terbawah. Di sebuah wilayah di Jakarta Selatan yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya (Betawi), di mana seluruh perangkat kerukunan warganya dijabat oleh warga asal Betawi hampir tidak pernah menggandeng atau melibatkan warga non-Betawi dalam kegiatan kemasyarakatan. Mereka terlalu asyik dengan dirinya, dengan anggapan seolah-olah dunia ini hanya (milik) mereka. Berbeda sekali dengan periode sebelumnya ketika perangkatnya (RT/RW) banyak dijabat oleh kaum pendatang, di mana warga masyarakat asal Betawi selalu diajak dan dilibatkan, baik dalam musyawarah maupun kegiatan kemasyarakatan. Tampaknya faktor ego yang kuat, ketidaksiapan menghadapi persaingan dan takut kehilangan hegemoni telah mendominasi dan melandasi sikap tersebut. Menyadari dan menghadapi “peta” serta konstelasi perimbangan kekuatan (politik) seperti itu pula, wajarlah jika kemudian Presiden SBY mengambil sikap sangat lunak dan tidak berani melangkah tegas –untuk tidak disebut lembek-- karena alasan demi mengamankan kekuasaannya. Berbeda jauh antara bumi dan langit dengan Presiden ke-2 RI Soeharto, sebaliknya justru banyak orang “bernaung” di bawah kekuasaannya demi mencapai dan mengamankan kepentingannya. Demikian besar wibawa dan kharismanya, sehingga pada saat itu muncul pameo yang menyebutkan bahwa tak sedikit orang (suku) Batak lebih Jawa dari pada orang (suku) Jawa. Sebagai pemimpin nasional ia tergolong sangat inklusif dan terbuka. Salah satu indikatornya yang paling sederhana adalah ajudan pribadinya berasal dari (suku) Bali. Untuk memimpin sebuah negara sebesar Indonesia, baik secara teritorial maupun masyarakatnya yang plural, mau tak mau harus menampilkan sosok dan figur pemimpin berasal dari suku yang telah teruji memiliki jiwa besar dan nasionalisme inklusif. Bung Karno, Presiden RI pertama, sang proklamator bisa dibilang merupakan model pemimpin sekaligus bapak bangsa nyaris paripurna di antara deretan tokoh-tokoh besar seangkatannya, semisal Moh. Hatta, Syahrir, Moh. Natsir, dan KH Agus Salim. Karena dialah satu-satunya tokoh yang menjadi korban akibat dari konsistensinya sendiri dalam mempertahankan spirit nasionalisme. Dari psikoanalisis ini pula sesungguhnya pada dekade lalu sempat merebak wacana dan polemik mengenai dikotomi Jawa dan non-Jawa setiap kali menjelang Pemilu, tak lain karena jabatan presiden seharusnya adalah bapak bagi semua anak bangsa. Sementara di kalangan suku Jawa sendiri jika dibuat perbandingan, maka rasa dan semangat kesukuan masyarakat Jawa (Tengah) dalam banyak hal sepertinya lebih rendah dari pada masyarakat Jawa (Timur). Apa yang dilakukan oleh dinasti Ratu Atut sang Gubernur Provinsi Banten dalam memaknai kekuasaan tak pelak lagi merupakan bukti nyata seraya semakin menegaskan sebuah tesis bahwa semangat dan atau solidaritas kesukuan berbanding terbalik dengan spirit nasionalisme. Integritas yang selama ini kerap disebut sebagai salah satu syarat pertama dan utama bagi seorang (calon) pemimpin (nasional, khususnya) sesungguhnya merupakan buah dari komunitas di mana seseorang dllahirkan dan atau dibesarkan. Seperti peribahasa mengatakan bahwa buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Kecuali kalau digondol burung. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun