Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang Tidak Hebat

3 Oktober 2014   16:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:31 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14123030071135976050

Dunia politik kerapkali disimbolisasikan dengan papan catur dan buah catur, karena filosofi permainan catur pada dasarnya memang diilhami dan merupakan miniatur permainan siasat dan “adu strategi” seperti yang terjadi dalam dunia politik. Kemenangan pasangan calon presiden Jokowi-JK yang dramatis dan spektakuler dalam Pilpres lalu, tetapi tidak segera diikuti langkah-langkah berkikutnya yang alih-alih mengandung “intimidasi”, sebaliknya justru “kedahuluan” langkah “skakmat” dari pihak lawan (KMP) yang “mematikan” (dengan UU MD3 dan UU Pilkada) sungguh mengecewakan dan sangat tidak hebat (penggunaan kata hebat itu sendiri sebagai slgan terlalu riskan, karena kesannya seperti iklan produk dan tidak serius sehingga kurang menunjukkan kewibawaan). Akibatya, KIH seperti pemain pemula saja, yang biasanya memang gemar (kemaruk) dan “rajin” mengambil langkah “gertak sambal” pada setiap kesempatan, meski kadar ancamannya hanya kecil saja. Contohnya, langkah PDI-Perjuangan mengajukan gugatan “judicial review” UU MD3 ke MK. Selain harus menelan kekalahan, satu hal penting dalam satu permainan adalah efek ganda psikologis yang kurang diperhitungkan. Di satu sisi, kesalahan langkah itu dapat menjatuhkan moril bagi pecundang. Di sisi lain, dalam saat bersamaan akan meningkatkan moril dan posisi lawan (pemenang). Dalam sebuah permainan catur tingkat “advance” biasanya para pemain sudah berpikir untuk scenario beberapa langkah ke depan. Lain halnya bagi pemain pemula (beginner), baru berpikir dan melangkah atau menunggu setelah pihak lawan mengambil langkah. Akhirnya, Jokwi-JK bak perjaka keren tetapi pemalu dan bernyali kecil yang menaksir gadis cantik harus mengakui dan menerima kekalahan pada perjaka “gokil” yang lihai dan pemberani yang akhirnya berhasil memeluk sang gadis pujaan.

Penulis memang pernah kecanduan bermain catur meski hanya sempat meraih juara tingkat kelurahan. Tetapi penulis lebih tertarik kepada filosofinya, di antaranya melatih kemampuan membaca gerak-gerik jiwa (psyche) dan pikiran lawan bermain. Dalam sebuah pertandingan catur cukup bergengsi rombongan antar kelurahan penulis pernah mendapat lawan bermain seorang perwira menengah polisi. Dalam posisi yang sudah terjepit dan kritis penulis mengambil langkah “jibaku” antara pilihan ancaman “skakmat” atau “remis” dengan mengorbankan satu buah perwira menengah. Rupanya umpan jebakan itu diambil, sehingga terjadilah “remis”. Sadar telah termakan umpan jebakan, sang “Pamen” pun (mungkin) malu dan buah catur pun “diorak-arik” sambil sedikit menahan amarah, sehingga sempat ditegor panitia penyelenggara.

Pada masa jabatan DPR periode lalu pernah tercatat nama Grand Master Utut Adianto sebagai anggota DPR dari PDI-Perjuangan. Semula penulis pernah membayangkan dan mengharapkan keahliannya di bidang permainan catur dapat dimanfaatkan dalam percaturan politik nyata dengan posisi sebagai “skondan” bidang politik di partai, misalnya. Namun dalam kenyataannya masyarakat tidak pernah mendengar kiprah dan kontribusinya selama periode pengabdiannya di DPR. Di bagian lain, di dalam tubuh partai PDI-Perjuangan sendiri sepertinya sangat minim tenaga ahli strategi dan siasat yang dapat dikatakan handal dan piawai. Sesungguhnya publik tahu bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Jk dalam Pilpres yang lalu adalah kemenangan sebuah pertarungan figur, yaitu figur Prabowo-Hatta yang direpresentasikan atau dipersepsikan elitis borjuis versus figur Jokowi-Jk yang pro “wong cilik” yang direpresentasikan dengan “blusukan”nya. Bukan dari slogan “koalisi tanpa syarat” atau “revolusi mental” yang dijanjikan dan digembar-gemborkan Jokowi-Jk  selama kampanye Pilpres.

Slogan “koalisi tanpa syarat” sebagai bentuk perlawanan “politik bagi-bagi kekuasaan” dan “politik transaksional” yang gencar dikritisi selama ini sesungguhnya bukanlah ide genuin dari Jokowi, tetapi merupakan bagian dari kesatuan ideologi “Restorasi” dari Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh yang belum lama ini memperkenalkan dirinya sebagai ideolog. Penulis sendiri bersama rakyat yang dapat memahami gagasan tersebut tertarik untuk mendukung, meski pada akhirnya hanya berhasil meraih 36 kursi di DPR RI Pusat. Kita dapat membayangkan dan mengharapkan, kalau saja pengorbanan dan kerja keras sang “Ideolog” yang Ketua Umum NasDem itu dalam mengkampanyekan ide restorasi itu dapat ditangkap dan dipahami masyarakat secara lebih luas lagi, sehingga raihan kursi di DPR RI Pusat lebih banyak lagi, maka saat ini KIH tidak akan banyak menghadapi kesulitan dan tidak perlu repot-repot mencari tambahan partai anggota koalisi. Namun apaboleh buat, karena target tersebut tak tercapai (terwujud), maka slogan “koalisi tanpa syarat” itu sekarang menjadi tidak “compatible” dengan realitas politik yang berpotensi menjadi hambatan dan kesulitan untuk menjalankan roda    pemerintahan Jokowi-Jk ke depan. Secara moril, kesalahan siasat dan strategi tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab sang konseptor “koalisi tanpa syarat”, yang seperti diketahui meski lama berkecimpung di dunia politik ia bukanlah seorang ahli siasat dan strategi. Terbukti dalam pertarungan untuk menduduki kursi jabatan Ketua Umum Partai Golkar pada periode silam ia dikalahkan oleh Abu Rizal Bakrie, apapun alasannya. Kalau kamudian perkembangan perpolitikan Indonesia jadinya seperti sekarang ini, salah siapa? Rakyat atau pemimpin?

Ide restorasi tak lain adalah gerakan moral, tak ubahnya gerakan moral yang sesungguhnya dikumandangkan agama, Bedanya, gerakan restorasi berasal dari proses berpikir dan ide manusia (tampaknya lebih dikhususkan untuk urusan berbangsa dan bernegara), sedangkan gerakan moral agama yang tentu saja lebih kmprehensif bersumber dari wahyu yang bersifat dogmatis. Nilai kebajikan boleh berasal dan bersumber dari mana saja. Masalahnya, untuk siapa atau siapa target sasaran gerakan moral (restorasi) itu? Kalau sasarannya adalah para pemimpin agar mengubah “mind set” untuk menjauhi “syahwat kekuasaan yang merusak, sifat serakah, memperkaya diri sendiri dan atau kelompok, tidak amanah” dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat, maka boleh jadi akan sia-sia. Karena tokoh-tokoh seperti Amin Rais dan Hidayat Nur Wahid adalah “ahlinya” dalam bidang agama (moral, akhlak). Bisa jadi mengajak mereka untuk melakukan gerakan moral hanya akan ditanggapi seperti kata peribahasa yang seringkali dikutip Ruhut Sitompul, politisi Partai Demokrat vokal yang tidak substansial itu, yaitu “jangan mengajari ikan berenang”. Mungkin lebih tepat dan efektif apabila gerakan itu ditujukan kepada masyarakat luas yang mayoritas masih kurang terdidik (tetapi kebodohannya kerap dimanfaatkan oleh para petualang politik), agar pada saat menentukan pilihan lima tahunan tidak lagi memilih partai yang tidak mewakili kepentingan dan aspirasinya. Sebaai contoh, saat ditanya seorang musisi Anang Hermansyah tentang apa yang hendak diperjuangkan sebagai anggota DPR RI? Dijawab, antara lain akan memperjuangkan perlindungan Hak Cipta di bidang musisi yang  masih sering dilanggar. Padahal konstituennya terdiri dari para PKL, tukang ojek, buruh dan semacamnya yang tentu saja tidak akan terakomodasi kepentingannya. Itulah “kerja besar” yang tidak akan dapat dipikulkan di atas pundak beberapa gelintir dan atau sekelompok orang, tetapi harus menjadi tanggung jawab seluruh warga yang mencintai bangsa dan negeri ini secara lebih proaktif dan kreatif. Sebagai contoh, kontribusi yang paling kecil yang bisa dilakukan adalah dengan mem”forward” kepada jaringan yang dimiliki, bila sepakat dengan substansi makalah ini.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun