Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akankah Tangis “Guntur Bumi” Setulus Tangis Umar bin Khattab?

11 Mei 2015   17:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:09 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kemarin terbetik kabar bahwa sosok pria sarat energi dan penuh percaya diri yang biasa disapa dengan inisial UGB yakni kepanjangan dari namanya yang sempat menghiasi jagat dakwah di seantero Tanah Air baru saja keluar dari Lembaga Pemasyarakatan usai menjalani hukuman karena kasus tindak pidana penipuan yang menjeratnya. Sebagian stasiun televisi meliput peristiwa kepulangan sang ustadz yang bagaikan pahlawan pulang dari medan perang itu dalam kemasan berita hiburan.. Konon liputan seperti itu demi mendongkrak “rating” yang tak lain adalah untuk kepentingan bisnis, Luapan kegembiraan dan syukur dibumbui tangis disertai uraian air mata memang manusiawi dan merupakan hal yang biasa. Yang mungkin tidak biasa dan menjadi bahan renungan adalah bila usai menjalani hukuman ini ia kembali terjun menjalai profesinya sebagai “ustadz”, apalagi dalam jeda waktu yang relatif singkat. Mengapa demikian? Karena tindak pidana yang telah dilakukan adalah penipuan. Satu tindakan yang rendah dan sangat tercela di dunia ilmu. Sehingga di dunia ilmu (pengetahuan)berlaku sebuah adagium yang (harus) dipegang teguh oleh orang-orang berkecimpung bahwa mereka boleh salah tetapi tidak berbohong. Dalam peribahasa lama juga disebutkan bahwa “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”.

Pastinya UGB saat menitikkan air mata adalah karena menyesali perbuatan buruknya itu secara tulus, selain sebagai ujian hidup yang dapat menimpa siapa saja. Seberapa dalam tangis penyesalan itu dapat disimak sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat Nabi Saw Umar bin Khattab terkadang menahan tangis menyesali dosa setiap kali teringat karena telah membunuh putrinya pada masa jahiliyah.

Lalu sebesar kasih UGB pada umatnya (yang mudah lupa, lebih-lebih kalau bukan korban langsung), jika mau meneladani kasih sayang Nabi Saw kepada umatnya --sebagai digambarkan Al-Quran di penghujung surat AT-Taubah, agaknya diperlukan waktu tidak sebentar untuk melakukan kontemplasi, sebelum ia berketetapan untuk kembali terjun ke dunia dakwah. Dalam ukuran paling sederhana adalah rasa malu. Bukankah malu adalah sebagian dari iman?

Berikut ini sebuah dongeng satire berkisah tentang perjalanan dan perjuangan seorang santri untuk mengapai ilmu dan hikmah.

Sepuluh tahun sudah ia berguru di sebuah pondok pesantren di pelosok sebuah kaki gunung, ketika datang saatnya ia harus berpamitan kepada sang kiai untuk “turun gunung”, dan mengabdikan dan mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. Dalam perjalanan hari itu, bertepatan dengan hari Jumat, ia singgah di suatu dusun dan menghampiri mesjid guna melaksakan ibadah salat Jumat. Tampaknya ia termasuk datang lebih awal, karena belum begitu banyak jamaah lain yang hadir. Sebagai seorang “fresh graduate”, dengan khusyuk ia duduk bersimpuh di baris pertama di depan mihrab. Sekarang giliran waktunya khatib naik mimbar untuk menyampaikan khutbah. Selang beberapa lama khatib berbicara, tiba-tiba terdengar suara sedikit keras memecah keheningan, dan sekilas tampak seseorang berdiri di baris depan berhadapan dengansang khatib. Rupanya sang santri yang sedang menyampaikan protes, karena ada materi khutbah yang dianggap tidak sesuai dengan pendapatnya. Kontan saja para jamaah yang sedang tenang mendengarkan khutbah dibuat kaget dan terperangah. Adegan tersebut tak berlangsung lama. Setelah terhenti sejenak, khatib pun melanjutkan khutbahnya. Namun lagi-lagi, sang santri menyela dan mengajukan protes karena ada lagi materi khutbah yang dianggap tidak selaras dengan ilmu yang pernah ia gali sepuluh tahun lamanya itu. Untuk kali kedua ini, para jamaah tampak sudah hampir tidak dapat lagi menahan kesal dan hendak beranjak dari duduknya untuk mengusir orang asing tersebut. Bisa jadi sang santri tidak merasa atau tidak mampu membaca situasi, begitu protes ketiga terjadi, para jamaah pun habis dan hilang kesabaran, dengan satu komando dari imam, para jamaah itu serempak berdiri dan menghambur maju kea rah sang santri untuk mengeroyok sambil menempelengi, lalu menyeret dan mencampakkannya keluar mesjid.

Waktu berlalu hingga usai pelaksanaan salat Jumat, tak satu orang pun tampak di halaman mesjid, giliran sang santri mulai siuman dari pingsannya. Sambil mengucek-ecek matanya dan terhuyung-huyung ia mencoba berdiri, seperti belum menyadari apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Setelah merasakan sakit-sakit dan mendapati memar di sekujur tubuhnya dan mencoba mengingat-ingat, barulah ia menyadari peristiwa naas yang baru saja menimpa dirinya. Antara sedih, pilu, dan menyesal, membuncah pertanyaan besar menyesakkan dada, mengapa ilmu yang dituntut dengan susah payah selama ini berujung seperti ini. Namun tak larut dengan kesedihan, ia bergegas pergi dan berketetapan hati untuk kembali menemui gurunya. Sang kiai hanya tersenyum bercampur haru saat mendengarkan cerita pahit yang dialami santrinya. Selanjutnya, sang kiai memutuskan agar sang santri bermukim kembali untuk beberapa lama guna menambah ilmu.

Tak terasa delapan tahun berlalu, ketika sang santri berpamitan kali keduanya untuk “turun gunung”. Seperti sudah direncanakan, dalam perjalanan ia kembali singgah di mesjid, di mana dulu dia pernah mendapat pengalaman buruk itu. Wajar jika warga setempat telah lupa atau tidak mengenalinya. Dengan tenang ia duduk bersimpuh di depan mihrab, menunggu khutbah dimulai. Namun kali ini dia berdiam diri dan dengan khusyu mendengarkan khutbah hingga selesai, dan dilanjutkan pelaksanaan salat Jumat. Selanjutnya, begitu imam membaca salam tanda salat selesai, tak disangka-sangka dengan sigap ia berdiri dan menyambar gagang mikrofon di dekatnya, seperti layaknya pengurus mesjid hendak membacakan pengumuman. Dengan singkat dia menyampaikan maklumat bahwa barang siapa memiliki satu lembar saja rambut pak kiai, dijamin masuk sorga. Mendengar pengumuman itu, serentak seluruh jamaah secara spontan bangkit dari duduknya, berhamburan menuju mihrab berebut untuk mendapatkan satu lembar rambut sang kiai, dengan cara mencabutinya. Tak sempat menyadari apa yang baru saja terjadi, hanya dalam waktu sekejap, rambut sang imam ludes, seketika kepalanya berubah menjadi gundul.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun