Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Terwujud Sudah Revisi UU KPK

31 Januari 2020   17:46 Diperbarui: 31 Januari 2020   17:55 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berikut adalah tulisan daur ulang yang diterbitkan di media tercinta ini pada Februari 2016 yang lalu tentang desakan dan rencana dari pihak-pihak yang menginginkan untuk merevisi Undang-Undang KPK. Kendati momen dan topik agak sedikit terlambat, lebih-lebih saat ini seluruh dunia tengah digegerkan, disibukkan sekaligus dibuat panik oleh berjangkitnya virus corona mematikan yang tiba-tiba muncul dari daratan negeri tirai bambu yang dalam beberapa dekade terakhir ini mencapai kemajuan pesat dalam pembangunan sehingga hampir dapat mengalahkan negara adikuasa Paman Sam.

Dalam artikel tersebut menggambarkan keresahan masyarakat saat itu yang memandang bahwa pokok persoalan tak kunjung berhasilnya program pemberantasan korupsi di Indonesia tidak terletak di tingkat penindakan dan penuntutan dalam ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat itu berdiri sebagai lembaga independen, tetapi di tingkat lembaga yudikatif dalam hal ini pengadilan yang kerapkali untuk tidak mengatakan selalu menjatuhkan hukuman ringan kepada para koruptor.

Kini, setelah "cita-cita" untuk merevisi UU KPK itu terlaksana dan terwujud, sementara warmah lembaga pengadilan --ditambah sistem lembaga pemasyarakatan yang terkesan bahkan kasat mata tidak memberikan efek jera kepada koruptor-- masih berjalan di tempat, akankah Indonesia (yang diharapkan) maju dapat terbebas dari kejahatan kemanusiaan alias korupsi? Jawabnya, tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Ini dia artikelnya.

Ini bisa jadi memang sebuah ide gila. Di Republik ini kejahatan korupsi sudah demikian serius dan mencapai stadium gawat darurat, sehingga kejatan korupsi dimasukkan dalam kategori "extra ordinary crime". Oleh karenanya, langkah dan upaya untuk memberantasnya juga harus melalui cara-cara atau metode yang ekstra untuk tidak disebut "gila". Konon di negeri tirai bambu, Tingkok, yang menerapkan dan melaksanakan hukuman mati atas koruptor ternyata tidak atau belum membuat calon-calon koruptor jera.

Nah, bagaimana kalau di negeri kita tercinta ini untuk selama periode darurat korupsi kekuasaan (tupoksi) kehakiman "ditukar guling" dengan kekuasaan (tupoksi) yang dimiliki KPK? Itu artinya, hakim-hakim yang melakukan langkah penindakan, penyidikan dan penuntutan, sementara KPK yang lebih memiliki semangat dalam pemberantasan korupsi mengambil alih untuk menjatuhkan vonis terhadap koruptor. Sebagaimana diketahui bahwa Negeri ini seakan sudah kehabisan akal dan cara untuk memberantas kejahatan luar biasa yang bernama korupsi, karena alih-alih habis atau berkurang tindak kejahatan itu justru ibarat ditangkap satu tumbuh seribu.

Salah satu sebab yang santer menjadi bahan diskurus di tengah masyarakat dan kalangan para pemerhati masalah korupsi adalah bukan saja integritas tetapi juga kapabilitas di samping yang lebih penting lagi adalah paradigma para pemegang kekuasaan yudikatif, dalam hal ini hakim-hakim yang seharusnya menjadi benteng penegakan hukum dan keadilan sekaligus disebut sebagai wakil Tuhan di muka bumi itu alih-alih selaras dan senafas dengan semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, justru melakukan praktik yang sama, bahkan lebih miris lagi seakan tak mau kalah hakim MA (Mahkamah Agung) yang diharapkan menjadi benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan diberitakan baru saja ikut terjerat dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK.

Keadilan dari hakim yang disimbolkan dengan seorang dewi yang tangan kanannya memegang sebilah pedang sementara tangan kirinya memegang timbangan sambil matanya tertutup rupanya tutup mata itu dibuka ketika diming-imingi atau melihat sejumlah uang, sehingga tegaknya keadilan tidak lagi dapat diharapkan.

Kalaupun tidak terlibat secara langsung dalam tindak pidana korupsi bukan salah masyarakat jika kemudian berprasangka bahwa tidak mustahil hakim (-hakim) itu melakukan perselingkuhan misalnya dalam bentuk menjatuhkan vonis minimum (ringan) pada terdakwa korupsi, sehingga efek jera yang diharapkan itu tak kunjung tiba. Fenomena itu seakan berbanding terbalik dengan semangat dan kerja keras sekaligus prestasi KPK yang seperti tak kenal lelah dan waktu selama ini.

Ide yang ditawarkan ini bisa jadi sama "gilanya" (mustahilnya?) dengan "nafsu licik" yang tersembunyi di balik jubah "penguatan KPK" tengah sibuk mengotak-atik rencana merevisi UU KPK yang saat ini sedang digulirkan dan didukung mayoritas partai di DPR di mana awalnya konon merupakan gagasan dan inisiatif dari pihak eksekutif kemudian ditangkap "dengan lahap" --bak lagu anak-anak "cicak-cicak di dinding" saja-- oleh pihak legislatif.Ini bisa jadi memang sebuah ide gila. Di Republik ini kejahatan korupsi sudah demikian serius dan mencapai stadium gawat darurat, sehingga kejatan korupsi dimasukkan dalam kategori "extra ordinary crime". Oleh karenanya, langkah dan upaya untuk memberantasnya juga harus melalui cara-cara atau metode yang ekstra untuk tidak disebut "gila".

Konon di negeri tirai bambu, Tingkok, yang menerapkan dan melaksanakan hukuman mati atas koruptor ternyata tidak atau belum membuat calon-calon koruptor jera. Nah, bagaimana kalau di negeri kita tercinta ini untuk selama periode darurat korupsi kekuasaan (tupoksi) kehakiman "ditukar guling" dengan kekuasaan (tupoksi) yang dimiliki KPK? Itu artinya, hakim-hakim yang melakukan langkah penindakan, penyidikan dan penuntutan, sementara KPK yang lebih memiliki semangat dalam pemberantasan korupsi mengambil alih untuk menjatuhkan vonis terhadap koruptor. Sebagaimana diketahui bahwa Negeri ini seakan sudah kehabisan akal dan cara untuk memberantas kejahatan luar biasa yang bernama korupsi, karena alih-alih habis atau berkurang tindak kejahatan itu justru ibarat ditangkap satu tumbuh seribu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun