Nama Najwa Shihab bukan saja sangat dikenal sebagai jurnalis senior, melainkan juga host yang tangguh dan “garang”, andalan stasiun televisi Metrotv. Namun kali ini pemirsa disuguhi tontonan sangat berbeda, ketika dia tampil di sebuah acara talk show “Demokrasi Galau” yang mengambil lokasi di halaman gedung DPR/MPR baru-baru ini. Tak seperti biasanya, kali ini dia seperti takluk tak berkutik dan kehabisan akal justru di depan Ahmad Yani, seorang “contoh politisi bodoh (karena suka membodohi orang)”, dari parpol berlabel agama PPP. Ini dia ceritanya:
1.Ketika Bupati Solok, Sumatra Barat, menyampaikan “testemoni” pengalaman pmengikuti sebagai kontestan Pilkada, yang menurutnya telah empat kali dijalaninya sejak tahun 2000 (dua kali Pilkada oleh DPRD dan dua kali Pilkada langsung), didahului dengan mengutip sebaris ayat Alquran yang terjemahannya demikian: “Janganlah engkau membicarakan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu”. Tetapi sang Bupati menyampaikan terjemahannya dengan agak sedikit berbeda, yaitu kata “ilmu” diterjemahkan “pengalaman”.
Giliran politisi dari PPP berbicara, kutipan iru pula rupanya yang pertama diambil dan dipersoalkan sebelum ia masuk ke pokok pembicaraan (mengenai UU Pilkada). Selain mengoreksi kekeliruan penerjemahan itu ia menambahkan bahwa katanya untuk mendapatkan ilmu tidak selalu atau tidak perlu dengan mengalami sendiri (“so pasti” hal itu dengan maksud hendak meremehkan pengalaman dan testemoni sang Bupati).
Menghadapi “trik gertakan” itu agaknya Najwa Shihab tidak memiliki “amunisi” yang cukup untuk menjawab dan menundukkan sang politisi yang lihai bersilat lidah ini, sehingga membuatnya merasa berada di atas angin. Ketika sang Bupati sendiri yang menghadapi “serangan” langsung kelihatannya tidak mampu menjawab, seharusnya Najwa Shihab dapat membantu “balik menyerang” dengan menggunakan dalil “naqly” dan “aqly”. Yaitu bahwa dalam batas tertentu boleh jadi perkataan sang politis itu benar. Namun ia lupa bahwa (a) mengenai pengetahuan itu Alquran menyebutkan beberapa kategori atau tingkat (akurasi), yaitu ilmul yakin, ainul yakin, dan hakul yakin; (b) Di samping itu, sudah menjadi aksioma bahwa ilmu atau informasi (saja) yang tidak didukung oleh pengalaman nyata (praktik) masih bisa salah. Sedangkan ilmu (teori) yang diperkuat pengalaman empiris tidak mungkin salah. Mengenai hal ini segudang contoh dan ilustrasi dapat diajukan.
2.Ketika Najwa Shihab mengajukan (membacakan) tabel hasil survei LSI mengenai pendapat publik terkait Pilkada langsung atau melalui DPRD, sebagaimana biasa, sang politisi dengan skeptisnya meragukan keabsahan hasil survei. Sikap dan pandangan itu mengandung setidaknya dua kontradiksi. Pertama, dengan meragukan atau tidak mengakui keabsahan atau kredibilitas ilmiah hasil survei berarti tanpa disadari dia telah menggugurkan postulatnya sendiri mengenai hakikat ilmu. Kedua, sikap dan pandangan itu sepertinya tanpa disadari ia adalah penganut relativisme “fatalistik”, yang sesungguhnya ---lagi-lagi tanpa disadari---melemahkan posisinya sendiri selaku narasumber ataupun wakil (rakyat), karena hal itu sama saja dia telah menafikan kebenaran ilmu (pengetahuan). Sebuah sikap dan pandangan yang inkonsisten. Lalu, dia sendiri berbicara melandaskan pada apa (selain pada ilmu)?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H