Indonesia mencatat fenomena deflasi yang berlangsung berturut-turut selama lima bulan, Mei hingga September 2024. Hal ini menciptakan kekhawatiran serius di kalangan pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat deflasi month-to-month (m-to-m) pada September 2024 mencapai 0,12 persen. Tren ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi terulangnya pelemahan ekonomi serupa yang terjadi pada tahun 1999, saat Indonesia masih merasakan dampak krisis moneter.
Deflasi terjadi akibat adanya penurunan harga pada sejumlah komoditas kunci pada periode waktu tertentu. Beberapa di antaranya, seperti cabai merah, daging ayam ras, telur ayam ras, tomat, ikan segar, bensin, dan telepon seluler, menjadi faktor utama yang menyumbang deflasi secara year-on-year (y-on-y). Sedangkan periode month to month (m-to-m) September 2024, komoditas seperti cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, tomat, daun bawang, kentang, wortel, dan bensin memainkan peran penting dalam tren penurunan harga.
Deflasi bagaikan pisau bermata dua, konsumen merasa senang akibat harga yang semakin turun, tetapi di sisi lain deflasi dapat menjadi ancaman bagi perekonomian. Penurunan harga akan membawa dampak besar pada produsen, seperti petani akibat pendapatannya akan berkurang secara drastis. Adanya penurunan harga juga akan memberikan efek domino, yakni penurunan pada harga komoditas lain. Penurunan harga secara berkelanjutan akan mengakibatkan investasi turun sehingga lapangan kerja akan berkurang dan akhirnya mengakibatkan daya beli masyarakat akan melemah. Oleh karena itu, deflasi berkelanjutan merupakan kondisi yang perlu ditangani dengan tepat oleh pemerintah.Â
Selain Indonesia, terdapat negara lain yang pernah mengalami deflasi secara berkepanjangan yaitu Jepang. Pada tahun 1990-an, Jepang mengalami masa perekonomian terpuruk sehingga mengalami deflasi berkepanjangan. Namun, dengan adanya  kebijakan-kebijakan yang tepat, Jepang telah berhasil mengembalikan kondisi perekonomiannya menjadi lebih baik. Hal ini tentunya dapat dijadikan contoh bagi pemerintah Indonesia dalam menentukan kebijakan dalam menghadapi deflasi berkelanjutan dengan tepat. Â
Fenomena deflasi bukan sekadar soal turunnya harga barang dan jasa. Dampak negatifnya dapat dirasakan secara luas, terutama pada sektor produksi dan konsumsi. Deflasi yang berkepanjangan dapat mengindikasikan lemahnya permintaan agregat, yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi. Produsen dapat terpukul oleh penurunan keuntungan, sementara investasi dan lapangan kerja berisiko berkurang, menciptakan tekanan yang lebih besar pada stabilitas ekonomi nasional.
Respon Pemerintah
Pada sisi pemerintah saat ini menganggap bahwa deflasi bukan ancaman melainkan respon dari adanya pengendalian inflasi yang terjadi. Pada tahun 2024 pemerintah menargetkan inflasi sebesar 1,5% sampai dengan 3,5% atau 2,5% plus minus 1%.Pada hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada April 2024 menghasilkan keputusan menaikkan BI-Rate sebesar 6,25%. Kenaikan suku bunga ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,51% pada 2024 dan 2025 sejalan dengan kebijakan moneter yang pro-stability.Â
Saat ini penyumbang dominan dalam deflasi yaitu komoditas utama atau volatile food dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah menyoroti penurunan harga terjadi dari sentra produksi utama yang tinggi. Hal ini sesuai dengan target pemerintah dalam pengendalian pangan mengingat harga pangan tahun lalu yang tinggi. Faktor-faktor ini memberikan sinyal tidak adanya kebijakan terbaru di Indonesia.Â
Analisis Fenomena Menurunnya Daya Beli Masyarakat
Kondisi deflasi pada pertengahan tahun 2024 ini menunjukkan pola serupa dengan deflasi 1999 dan 2008-2009 yakni, penurunan permintaan agregat menjadi faktor utama. Namun, terdapat perbedaan signifikan terutama penyebab dan dampaknya. Pada tahun 2024, deflasi terjadi dalam konteks pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 Indeks Harga Konsumen Indonesia Tahun 2024 ketidakpastian global akibat konflik geopolitik dan perubahan iklim yang mempengaruhi supply chain global (Widi, 2024).Â