Malam itu kami berbicara tentang tuhan, agama, dan budaya yang “disakralkan” menjadi agama. Diskusi hangat terjadi. Kami berusaha menanggalkan pakaian, supaya telanjang. Namun kami masih berada dalam keramaian, jadi urung melakukan. Alhasil, kami tetap berpakaian. Separuh compang-camping. Duduk sambil minum es krim. Agar sedikit dingin. Bicara tuhan, agama, dan budaya yang membalutnya, yang kerap mengaburkan kemurniannya.
Sebelumnya, beberapa temanku pernah mengaku sedang mencari tuhan-NYA. Mereka mengikuti beberapa agama untuk menemukan jalan bertemu tuhan, mempelajari kitab-kitab untuk meyakini hatinya. Mungkin ingin seperti PK dalam film India, walau tidak sebegitunya.
Ada yang belum mengerti dengan agama yang dianutnya. Siapa itu Tuhan? Benarkah Tuhan yang menciptakan manusia ? Atau justru manusia yang 'menciptakan' Tuhan?
Mampukah manusia menggapai Tuhan dengan nalar dan pikirannya yang pendek?
Seorang kawanku juga ada yang sedang memandang kagum terhadap kaum agnostik yang notabene lebih berbudaya ketimbang yang mengaku beragama. Di sisi lain juga penuh kritik terhadap budaya yang membalut agama. Akhirnya perlahan-lahan beliau meninggalkan rutinitas beragama. Lebih tenang katanya.
Dan kami masih bergelut pada pertanyaan, pernahkah kamu sulit membedakan mana yang ajaran agama dan mana yang budaya? Mana yang kamu ikuti? Mana yang benar? Mungkinkah ini efek dari menganut “Agama warisan” ? Seperti ungkapan Adik Afi Nihaya yang sekarang sedang booming di media massa.
Ah, agama warisan. Aku pernah disyahadatkan kembali karena tidak bisa menjelaskan bagaimana aku bisa menerima warisanku. Akhirnya aku belajar. Agar menjadi ahli waris yang baik. Ternyata belajar tidak bisa hanya membaca buku. Aku harus mendalami kitabku. Iqra’ harus dengan bismirabbika. Karena dulu kata guruku, buku bukanlah wahyu.
Bagaimana menurutmu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H