Melirik sejenak ke September tahun 1945, dimana perusahaan listrik kita yang dikuasai Jepang, direbut kembali oleh pemuda-pemuda Indonesia. Sepertinya itu bukan perjuangan yang ringan, mengingat suhu politik dalam negeri saat itu pasti tak menentu. Pada tanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas oleh Presiden kita saat itu, Soekarno. Tanggal ini pun ditetapkan sebagai Hari Listrik Nasional. Agak tercengang ketika mendapati angka kapasitas pembangkit listrik yang kita miliki saat itu. Hanya sebesar 157,5 MW. Dan sekarang, dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2011-2020 tercatat pada tahun 2010 kapasitas terpasang pembangkit PLN dan IPP di Indonesia adalah 30.908 MW yang terdiri dari 23.206 MW di sistem Jawa-Bali dan 7.702 MW di sistem-sistem kelistrikan Wilayah Operasi Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Luar biasa perkembangannya. Seterika Arang dan Lampu Petromak Sebagian besar dari kita pasti mencatat sejarah tersendiri tentang PLN. Di kampung kami, di sudut kabupaten Tuban, Jawa Timur PLN baru masuk sekitar awal tahun 1990-an. Keadaan yang sangat berbeda saat itu. Tadinya, kami hanya menggunakan lampu petromak tiap kali belajar malam. TV pun kami menggunakan accu yang harus diisi ulang dayanya 4 hari sekali. Masih hitam putih pula. Setrika pun, masih bergantung pada ada tidaknya arang untuk dibakar sebagi sumber panas setrika. Seperti di film-film dengan setting jaman baheula. Tapi memang begitu adanya. Dan kini, ketika mendapati lampu PLN byar pet. Isinya cuma marah-marah. Yang panas tidak bisa menyalakan AC atau kipas angin lah, tidak bisa menyalakan pompa air listrik lah. Atau tidak bisa nonton final Piala Dunia bola lah, dan lah lah lainnya. Seperti lupa bahwa dulu pernah jauh lebih menderita dari itu. Kepengin tertawa rasanya mengingat itu semua. Gak ada syukurnya. Padahal sekarang kondisinya pun sudah jauh lebih baik. Intensitas byar pet pun perlahan berkurang. Dua jempol untuk PLN untuk masalah ini. Produk Hemat Energi Kini, memang keadaan jauh berbeda. Di tengah isu perubahan iklim, dimana konsumsi listrik yang berlebihan menjadi pemicu gas rumah kaca. Perusahaan elektronik pun berlomba memproduksi produk hemat energi. Iklan tentang AC conventer hemat energi, atau lampu hemat energi pun ramai menghiasi layar kaca. Hingga terasa sulit memilih mana yang harus dibeli. PLN memang memancarkan energi dan menyinari hidup kita untuk keluar dari kegelapan. Dulu tak punya pilihan, mau tidak mau ya lampu petromak dan setrika arang. Kini bingung harus memilih, AC converter, atau AC yang eco-friendly lain, atau mesin cuci hemat energi dan hemat-hemat lainnya. Keterbukaan Di usia PLN yang tak muda lagi, beberapa hal memang perlu diperbaiki. Selain intensitas byar pet, juga konsistensi tarif. Sudah jadi rahasia umum, dengan penggunaan listrik yang sama tiap bulannya. Terkadang kita harus membayar agak sedikit di satu bulan dan membumbung tinggi di bulan berikutnya. Seperti tukar guling rasanya. Keterbukaan juga harus dipelihara oleh PLN. Beberapa titik lampu kota yang belum memiliki KWHmeter, sering dikeluhkan Pemda/Pemkot. Bahwa, tidak adanya catatan penggunaan KWH membuat PLN memasang tarif yang tak seharusnya. Sejatinya, perlu komunikasi lebih antara PLN Kota dengan Pemkot misalnya. Corporate Social Responsibility (CSR) juga menjadi prioritas lebih lah. Alokasi dana CSR benar-benar harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bukan asal buat kegiatan saja. Mungkin baik jika dialokasikan untuk pendidikan atau kesehatan bagi warga miskin di area Ring I Perusahaan. Good Luck PLN! Semoga motto PLN "Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik" benar-benar terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H