Mohon tunggu...
Didih M Sudi
Didih M Sudi Mohon Tunggu... -

Silaturahmi membuat hidup jadi lapang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghargai Proses (1)

11 Agustus 2010   12:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:07 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Katakanlah: ‘tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing’, maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS Al-Isra: 84)

Kalau kita telusuri kronologis turunnya ayat-ayat yang berhubungan dengan perintah puasa, kita akan mendapatkan bahwa perintah tersebut diturunkan secara bertahap. Aturan mengenai teknis pelaksanaan puasa pun beberapa kali mengalami perubahan.

Sebagaimana maklum bahwa puasa Ramadhan terdapat dalam Al-Quran ayat 183-187. Namun demikian, turunnya ayat-ayat tersebut tidak sekaligus. Di sana ada suatu proses, yang diwujudkan dalam beberapa fase sampai mencapai hukum final seperti yang sampai kepada kita sekarang.

Seperti yang tertuang dalam Tafsir Ibnu Katsir, mengutip riwayat Imam Ahmad dari cerita yang berasal dari Muadz bin Jabal RA bahwa Rasulullah SAW melaksanakan puasa tiga hari tiap bulan sampai turun ayat yang memerintahkan puasa di bulan Ramadhan.

Puasa tiga hari setiap bulan tersebut boleh dikatakan sebagai fase pertama. Hal ini karena ibadah puasa bukanlah ibadah yang baru diperintahkan kepada umat Nabi Muhammad SAW, melainkan telah diwajibkan juga kepada umat-umat sebelumnya.

Fase kedua, turun perintah puasa di bulan Ramadhan selama sebulan penuh melalui ayat “hai orang-orang yang beriman ‘diwajibkan’ kepada kalian untuk berpuasa…” sampai ayat “…dan bagi orang-orang yang mampu hendaknya mengeluarkan fidyah (yaitu) makanan untuk orang miskin..” (ayat 183-184). Pada fase ini, umat Islam diperintahkan untuk puasa, tapi kalau mau, boleh juga tidak puasa asal menggantinya dengan memberi makan kepada orang miskin. Jadi puasa masih suatu pilihan.

Demikian keadaan ini sampai turun ayat “..bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quran…” sampai “..barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan tersebut maka hendaklah berpuasa..” (ayat 185). Lewat ayat ini secara jelas bahwa puasa wajib dilaksanakan oleh orang yang mukim (tidak sedang bepergian) dan sehat. Sedangkan orang sakit atau dalam perjalanan (musafir) mendapatkan keringanan untuk tidak puasa pada saat itu, melainkan menggantinya di kemudian hari. Sedangkan orang tua renta yang tidak mampu melaksanakan puasa bisa diganti dengan memberikan makanan kepada orang miskin.

Fase ketiga, turunnya ayat yang mengatur kebolehan makan, minum, dan hubungan suami isteri sepanjang malam selama bulan Ramadhan. Demikian ketika turun ayat “dihalalkan bagi kalian untuk mendatangi isterimu pada malam Ramadhan..” sampai firman-Nya “..kemudian sempurnakanlah puasa dampai malam hari” (ayat 187).

Sampai sebelum ayat di atas diturunkan, aturan yang berlaku adalah bahwa orang yang berpuasa hanya boleh makan, minum, dan berhubungan suami istri saat magrib tiba sampai dia tertidur sebelum waktu fajar. Artinya kalau seseorang tidur atau ketiduran waktu shalat Isya, misalnya, maka dia tidak boleh makan sampai saat buka hari berikutnya.

Sebelum ayat 187 di atas turun, terdapat suatu kejadian di mana seorang sahabat bernama Qais bin Shurmah yang karena kecapaian setelah kerja kasar sepanjang siang kemudian ketiduran setelah shalat Isya padahal belum makan dan minum sehingga keesokan harinya sangat lemas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun