Sudah dua kali Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama, yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok menanggapi banjir di DKI Jakarta dengan mencurigai adanya sabotase. Mendengar alasan yang diutarakan dengan berapi-api itu terlihat lucu dan kesal, pemimpin yang tidak mau mengakui kesalahan dan mencoba melemparkan kesalahan saja.
Banjir pertama di kelapa gading, pak Ahok beralasan bahwa ada tanggul banjir kanal barat yang dibongkar karena pengerjaan pengerukan sungai. Banjir hari ini (9/02/2015) yang disebabkan curah hujan yang tinggi ahok berkilah bahwa disebabkan pompa yang tidak hidup karena mati lampu.
Sebenarnya bisa dilihat jelas bahwa Ahok sebagai Gubernur hanya bekerja di belakang meja dan tidak mengenal benar wilayah DKI Jakarta. Seharusnya Ahok bisa lebih awal mengetahui dan menanggulangi hal-hal tersebut.
Tentang tanggul yang di jebol karena proyek pengerukan, jika Ahok mengetahui benar wilayah DKI Jakarta, hal ini pasti akan terdeteksi lebih awal dan Ahok dapat memberi peringatan jauh-jauh hari sebelum curah hujan semakin tinggi.
Tentang pompa yang tidak menyala akibat aliran listrik dari PLN di padamkan, seharusnya Ahok bisa mengantisipasi hal-hal ini dengan menyediakan Genset untuk pompa-pompanya. Kalaupun karena PLN sengaja memadamkan, seharusnya bisa dinyalakan lebih awal jika memang pak Ahok mengenal kebiasaan jakarta akan banjir jika dengan curah hujan yang tinggi bukan memantau itu semua setelah jakarta terendam banjir baru semua ditanyakan.
Setiap tahun, Indonesia terutama DKI Jakarta selalu mengalami curah hujan yang tinggi di akhir tahun dan awal tahun hingga februari. Banjir seakan menjadi bencana tahunan di DKI Jakarta. Dengan pola ini sebenarnya bisa diantisipasi semua alasan-alasan yang dikemukakan Ahok, jika memang beliau mengenal benar wilayah DKI Jakarta. Ekspose rapat-rapat yang di pimpinnya, kebijakan-kebijakan yang diambil sejauh ini masih bisa diterima dengan tujuan penertiban di segala lini.
Tapi dengan alasan Ahok terhadap banjir di Jakarta tahun ini, sebenarnya membuka bahwa Ahok tidak mengenal DKI Jakarta secara utuh dan lebih banyak bekerja di belakang meja.
Itulah resiko seorang pemimpin, harus di tuntut lebih mengenal dan lebih antisipatif dalam segala hal. Masyarakat yang di pimpinnya tidak akan mau mendengar kata lelah, tidak bisa, tidak sanggup, apalagi melepar kesalahan. Masyarakat ingin pemimpinnya turun ke "lapangan" langsung di tiap lini wilayah yang dipimpinnya, itu agar semua permasalahan dapat di antisipasi sebelum ada bencana. Selamat bekerja Pak Ahok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H