MIRIS
Mei 1997 terjadi tragedi yang sangat melukai bangsa ini. Sejarah kelam yang ditorehkan segelintir orang yang mengaku mencintai negeri ini. Kejadian-kejadian memilukan, sadis dan menakutkan sekaligus menyengsarakan. Ibu Pertiwi berduka.
Masa itu entah mengapa, iblis-iblis lolos dari neraka. Mungkin dewa neraka yang berkhianat atau pandainya iblis merayunya. Yang pasti dengan riang gembira mereka bergentayangan di alam manusia. Mereka merasuki jiwa-jiwa lemah kehilangan akal sehatnya, demi melampiaskan nafsunya. Nafsu keunggulan, kekuasaan dan balas dendam, yang dibungkus kebencian.
Kerusuhan di mana-mana, kebrutalan semakin menjadi, penjarahan meraja lela. Bencana, kerusakan dan ketakutan menyebar laksana kabut beracun yang menyesakkan. Nyawa melayang sia-sia terkorban nafsu angkara. Pelecehan terhadap wanita dari etnis tertentu seolah mendapat pengesahan.
Api bergejolak membubung menjilat langit kelabu di ibu kota negeri ini. Membakar dengan penuh kedengkian gedung-gedung pusat perbelanjaan. Mengurung pengunjung dan pekerja yang tidak menyangka terjadi petaka. Puluhan orang hangus dilalap api, puluhan yang lain mati tenggelam dalam asap pekat menghitam.
Berawal dari hilangnya orang-orang yang menyuarakan keadilan. Lenyap begitu saja bak asap yang hilang tersapu angin. Mengapa, kenapa dan ada apa, semua tak terjawab. Begitu sunyi dan senyap, membungkam mengabaikan tanya. Kesedihan dan kepiluan karena kehilangan, dikipasi iblis mengobarkan kebencian.
Di sudut kampung pinggiran ibu kota, di tengah gemuruhnya kerusuhan dan kekacauan, terdengar teriakan memanggil.
"Mak Engkom ... mak Engkom ..."
 "Nape tereak-tereak," jawab mak Engkom nongol di pintu salah satu rumah kontrakan.
"Mol kebakar ... si Udin di sana."
Sayup-sayup terdengar teriakan kebakaran ... kebakaran disusul orang berlarian kesana kemari. Tiba-tiba Udin muncul sambil membawa minuman ringan satu krat. Dengan terburu-buru Udin menaruh krat di dekat orang tuanya.