Sunyi, diam, tak ada gertakan, tak ada canda, tak ada marah, tak ada senyum hanyalah rasa kecewa yang menanah mengeluarkan busuk menjijikkan. Bibirku membeku, mataku kosong tak bernyawa layaknya buta, bahkan lebih dari itu. “hentikan!” suara itu seperti gema dalam ruangan kecil tak berjendela,tak berventilasi, suara itu mengutuk seperti bujukan iblis atau rayuan malaikat, bahkan akupun tak tau. Entahlah, ada gertakan dalam batin, serasa bertengkar dengan jiwa, rasa yang ingin dibuang jadi memori atau harus berbalik arah atau biarkan angin yang membawa kepalsuan. Pernah aku mencibir watak, tanpa melihat wajah dicermin rusak, aku tertawa lepas tanpa dengar jeritan luka, aku marah tanpa sadar datangnya dendam, aku senyum dan sadar akan kemunafikan. Pernah benci kepalsuan tanpa sadar ia melekat dalam diri. Pernah benci kedangkalan otak dan perasaan, tanpa sadar mengkotak-kotakkan kawan . Pernah dagu terangkat naik layaknya ibu tiri Cinderella, tanpa sadar penonton adalah raja kaya raya, entahlah, terlalu banyak kata pernah yang telah menjadi sorotan memori dalam masa depan. “hentikan”, suara itu terdengar jelas namun semakin jauh jauh, mataku semakin tak mampu melihat perempuan dibalik cahaya lampu luar kamar,dingin itu yang kurasakan. “mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”, langkah kaki berlari menuju arah darah nadi yang sudah mengaliri lantai, pelukan perempuan itu mengantarkanku pada waktu terakhirku di bumi.
Ibu dari perempuan autis itu telah pergi dengan beragam penyesalan dalam hidupnya yang hidup seakan sempurna namun penuh dusta yang dibalas dengan sengsara anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H