Sejak lama di Jawa sudah dikenal upacara-upacara pertanian yang berkaitan dengan tanaman padi. Upacara tersebut dihubungkan dengan mitos asal mula padi dan tanaman lain yang penting bagi kehidupan. Cerita Dewi Sri di Jawa dan Nyi Pohaci Sang Hyang Sri di Sunda, dulu amat populer.
Ternyata, kedua cerita itu tidak lepas dari peran seorang tokoh dewi dalam agama Hindu, yaitu Dewi Sri atau Laksmi, sakti (isteri) Dewa Wisnu. Cerita tentang asal mula tumbuh-tumbuhan ini di Jawa sangat banyak versinya. Salah satu versi yang cukup terkenal adalah cerita Sri Mangunkuhan.
Dikisahkan, Batara Guru jatuh cinta pada seorang wanita bernama Ken Tisnawati. Namun Ken Tisnawati mengajukan syarat yang cukup berat. Karena itu Batara Guru marah dan selanjutnya mengutus orang suruhannya untuk mengejar Ken Tisnawati ke mana pun dia pergi. Ken Tisnawati pun merasa tidak tenang hidupnya, sehingga akhirnya dia meninggal.
Anehnya, dari kuburannya lalu keluar berbagai jenis tanaman. Padi keluar dari tubuhnya, kelapa dari kepalanya, jagung dari giginya, pisang dari telapak tangannya, dsb (Hariani Santiko, 1980).
Mitos tentang terjadinya tumbuh-tumbuhan ini juga terdapat pada beberapa daerah di Indonesia. Inti mitos tersebut hampir semuanya sama, yakni tumbuh-tumbuhan berasal dari tubuh seorang wanita. Mitos seperti ini menjadi menarik karena berhubungan dengan pemujaan kesuburan, yang terutama terdapat pada kebudayaan agraris di seluruh dunia yang sudah sangat tua usianya.
Adanya tokoh wanita sebagai peran utama dalam proses terjadinya tumbuh-tumbuhan, menurut arkeolog Hariani Santiko, erat hubungannya dengan tokoh Dewi Ibu dalam kebudayaan agraris yang dianggap “melahirkan” segala sesuatu di dunia ini, termasuk tumbuh-tumbuhan yang dibutuhkan oleh manusia.
Selain itu, mencerminkan tokoh yang “dikorbankan” sebagai lambang atau perumpamaan dari biji tanaman. Mungkin kita sudah tahu kalau biji tanaman harus pecah atau hancur terlebih dulu, baru kemudian tumbuh tunas muda.
Lambang
Upacara kesuburan biasanya dilaksanakan kalau akan menanam padi. Ini dimaksudkan agar hasil panen menjadi berlipat ganda. Untuk keperluan upacara tersebut dibuatlah patung-patung wanita dari berbagai bahan, seperti batu, logam, tulang, tanduk, dan gading. Karena yang dipentingkan unsur kesuburan, maka patung-patung tersebut dibuat dengan ciri-ciri seks (pinggul, buah dada, perut, dsb) dalam ukuran berlebihan. Di samping patung, dijumpai pula lambang-lambang dari Dewi Ibu, seperti bentuk alat kelamin serta gambar-gambar abstrak , antara lain bulatan, bentuk daun, dan kunci.
Pada masyarakat agraris, Dewi Ibu dianggap personifikasi dari tanah karena tanah “melahirkan” tanam-tanaman yang dibutuhkan oleh manusia. Pada masa bercocok tanam, Dewi Ibu sering kali dipuja bersama dengan pasangannya, pria. Lingga (lambang alat kelamin pria) dan yoni (lambang alat kelamin wanita) kemudian berjalan beriringan karena pada prinsipnya persatuan keduanya melambangkan kehidupan.
Di samping lingga yoni masih ada beberapa jenis “benda” yang dihubungkan dengan pemujaan kesuburan. Pertama, air. Air merupakan unsur terpenting di dalam proses kesuburan karena air diidentifikasikan sebagai “sperma” atau “air mani” untuk memberi “kesuburan” pada Dewi Ibu. Kedua, darah. Darah adalah tanda-tanda kesuburan dari rahim wanita. Banyak artefak arkeologi yang ditemukan memiliki ciri-ciri berwarna merah, sebagai tanda-tanda kehidupan atau kesuburan. Ketiga, wanita telanjang dengan berbagai bentuk alat kelaminnya.