Berkaitan dengan kegiatan Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) 24-27 Juli 2017, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman menyelenggarakan pameran bertajuk Jejak Maritim Indonesia di Mal Botani Square, Bogor. Pameran dilengkapi talk show pada 26 Juli 2017 menampilkan Ery Soedewo dari Balai Arkeologi Sumatera Utara dan Aryandini Novita dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan. Â
Cerita dari Ery Soedewo sudah saya ungkapkan sebelum tulisan ini. Sekarang kita lihat cerita dari Aryandini Novita, arkeolog yang sering menyelam di sejumlah perairan Indonesia.
Topik yang diceritakan Aryandini adalah Bangka-Belitung dalam lintas perdagangan laut. Topik ini menarik karena luas perairan Bangka-Belitung mencapai 65.301 kilometer persegi dengan batas-batas Laut Natuna (Utara), Laut Jawa (Selatan), Selat Bangka (Barat), dan Selat Karimata (Timur). Antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung terdapat Selat Gelasa.
Penelitian Arkeologi Maritim
Penelitian Arkeologi Maritim di perairan Bangka-Belitung dilakukan sejak 2008 bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi. Sebelumnya dilakukan survei arkeologi bawah air untuk mengidentifikasi situs kapal tenggelam. Lengkapnya menurut Aryandini sebagai berikut:
- 2010, mendata tinggalan arkeologi maritim dan masyarakat pendukung budaya maritim di Pulau Belitung bagian barat.
- 2011, mendata tinggalan arkeologi maritim dan masyarakat pendukung budaya maritim di Pulau Belitung bagian timur.
- 2012, peran Pulau Belitung pada Jalur Perdagangan dan Pelayaran Masa Lalu dan  survei tentang beberapa mercu suar di wilayah perairan Pulau Bangka.
-
Penyelaman dan pendokumentasian dalam kegiatan arkeologi bawah air (Foto: Aryandini Novita)
"Penelitian menyimpulkan antara lain karena kondisi perairan Bangka Belitung yang banyak terdapat gosong pasir, karang, perairan yang dangkal, celah-celah sempit, dan pulau-pulau kecil maka pemerintah kolonial Hindia-Belanda membangun mercu suar sebagai rambu-rambu untuk menandai kondisi suatu wilayah perairan yang berfungsi untuk mengarahkan posisi kapal dengan mengikuti batas terluar dari cahaya lampu suar yang merupakan jarak aman dari karang atau tempat-tempat yang dangkal," demikian Aryandini.
Pada 2013 penelitian arkeologi maritim di Pulau Belitung dilakukan dengan mengintegrasikan temuan-temuan arkeologi dari bawah air dengan temuan arkeologi di daratan. Aryandini mengatakan penelitian tersebut berhasil mengindikasikan bahwa kapal yang tenggelam di Situs Karangkijang membawa komoditi dagang menuju Kota Tanjungpandan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bukti jalinan hubungan ekonomi antara wilayah daratan dengan wilayah maritim. Sebagai bukti, terlihat adanya aktivitas pelayaran dan pemenuhan kebutuhan produk luar pulau yang saling mengisi.
Pada 2014 penelitian dilanjutkan di situs-situs bawah air di perairan bagian utara Pulau Belitung. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perairan bagian utara Pulau Belitung dapat dikatakan merupakan 'pintu masuk' dari Laut Tiongkok Selatan menuju Selat Karimata. Sayang, kata Aryandini, tinggalan kapal yang tenggelam di Situs Karangkapal 2 dan Karangkapal 3 dalam kondisi rusak sehingga menyulitkan identifikasi jenis kapal yang tenggelam di kedua situs tersebut.
Pada tahun-tahun selanjutnya penelitian arkeologi bawah air tetap dilaksanakan dengan berbagai hasil atau informasi.
Rekonstruksi Sejarah Kuno