Jumat lalu saya menerima undangan Dialog Perfilman Indonesia. Acara ini diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Perfilman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Museum Nasional, pada 25 Maret 2017. Tema dialog adalah Layarkan Ragam Indonesia. Menurut seorang panitia, acara ini sebagai rangkaian dari peringatan Hari Film Nasional setiap 30 Maret.
Dialog diselenggarakan dalam dua sesi. Sesi pertama bertema Layarkan Ragam Indonesia. Tampil sebagai pembicara B.J. Habibie (mantan presiden), Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan), Najeela Shihab (pendiri Sinedu dan aktivis pendidikan), dan Irfan Ramli (penulis skenario).
Kata Habibie, untuk membuat film yang baik harus ada sinergi antara budaya, agama, dan ilmu pengetahuan. Dan kunci utama, menurut Habibie, ada pada budaya. “Saya tidak menulis buku tentang cinta. Tapi hidup saya penuh dengan nilai-nilai cinta,” kata Habibie.
Seusai Habibie, Najeela berbicara. Ia telah berkecimpung di dunia pendidikan selama 20 tahun. Menurut pandangannya dunia pendidikan Indonesia sangat terbatas. Untuk itu membutuhkan dukungan dari dunia yang lain. Najeela kemudian mendirikan sinema edukasi yang disingkat sinedu. Kehadiran sinedu lewat layar komputer disambut baik oleh para guru.
Lain lagi yang dikemukakan Irfan. Pengalaman berharganya adalah ketika mengalami konflik di Ambon. Waktu itu ia duduk di kelas enam. Irfan sempat ikut mengungsi ke atas bukit.
Pembicara terakhir pada sesi pertama adalah Hilmar Farid. Salah satu program di Ditjen Kebudayaan, katanya, antara lain membawa sastra ke ruang kelas. Namanya Pusaka Indonesia, yakni karya sastra yang menurut penilaian merupakan bacaan yang semestinya, akan diperkenalkan kepada para siswa.
Mereka berbicara berbagai masalah, seperti karya sastra yang difilmkan. Ada perbedaan antara karya sastra dan film, kata mereka, mengingat beberapa bagian dari karya sastra perlu divisualkan. Cerita tentang film yang bagus dan film yang laku dipasaran juga diungkapkan. Ibaratnya orang yang pintar dan orang yang ganteng, merupakan dua hal yang sulit disandingkan. Begitu juga dengan film box office dan film festival. Pada dasarnya, menurut mereka, mereka cuma membuat film. Soal film yang laku dan film yang bagus itu urusan pasar atau penonton.
Kalau pada sesi pertama Habibie menjadi bintang, pada sesi kedua Raditya Dika yang menjadi bintang. Jawabannya yang serius dan tidak serius hampir selalu membuat peserta dialog tertawa. Maklum, Raditya juga menjadi bintang stand up comedy. Bahkan beberapa karyanya yang bisa disaksikan di layar televisi memang bernada humor.