Sabtu pagi seorang rekan nge-tag saya. Dalam Facebook ia mem-posting sebuah foto yang membuat miris, yakni sejumlah orang sedang mencangkuli bata-bata kuno lantas menaikkannya ke atas truk. Terlihat dua truk terparkir dekat bata-bata kuno itu. Kawasan Trowulan, yang diduga bekas ibu kota Kerajaan Majapahit, memang kaya akan bata-bata kuno. Namun ironisnya, sejak 1960-an pengrusakan besar-besaran terjadi di sana. Ini karena kehidupan masyarakat yang miskin menjadikan pembuatan semen merah merupakan andalan penghasilan mereka. Situs yang di-posting tadi pagi itu dikenal dengan nama Situs Kumitir, tidak jauh dari Candi Tikus.
Segera saja posting-an tersebut mendapat reaksi dari komunitas dan masyarakat pencinta sejarah budaya. Tentunya termasuk dari kalangan arkeologi sendiri. Terakhir saya lihat posting-an tersebut telah belasan kali dibagikan dengan ratusan komentar.
Ada yang mengusulkan lapor ke polisi karena merupakan pengrusakan warisan leluhur. Apalagi kita sudah punya Undang-undang Cagar Budaya 2010. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Harry Widianto, juga ikut memberikan komentar. Akhirnya diperoleh informasi, penggalian liar itu berhasil dihentikan. Entah untuk masa-masa mendatang, bagaimana pengawasan terhadap ulah masyarakat yang memang masih mengutamakan masalah perut daripada masalah sejarah dan kebudayaan. Berita tentang Situs Kumitir dimuat di beberapa media cetak nasional, di antaranya Kompas dan Koran Tempo edisi 10 April 2017.
Arkeolog Partikelir
Boleh dibilang peran arkeolog partikelir sangat kentara. Terutama saat peran dinas terkait masih lamban. Berbagai komunitas peduli sejarah dan budaya memang banyak terdapat di Jawa Timur. Meskipun pada umumnya mereka tidak berpendidikan arkeologi, namun apresiasi mereka terhadap kesejarahan dan kepurbakalaan sangat tinggi. Kita harapkan komunitas seperti ini bisa menjadi mitra pemerintah. Yang saya tahu, mereka senang blusukan ke berbagai situs, termasuk ke tempat-tempat terpencil. Banyak situs justru belum terdata atau terinventarisasi oleh instansi terkait.
Perlu Arkeolog Idealis
Saya memaklumi perjalanan masa lalu Nusantara sangat panjang. Dimulai sejak ribuan tahun lalu. Arkeologi sendiri menangani benda-benda budaya atau benda-benda buatan manusia. Ditinjau dari masanya, ada yang berasal dari masa prasejarah, yakni sebelum masyarakat mengenal tradisi tulisan. Sejak ditemukannya prasasti yupa di Kalimantan Timur, mulailah dikenal masa sejarah. Ini terjadi sekitar abad ke-5 Masehi. Dari masa sejarah dikenal tiga periode berdasarkan keagamaan, yakni Hindu-Buddha, Kolonial, dan Islam.
Sayang karena masanya begitu panjang, maka jumlah peninggalannya pun seabreg-abreg jumlahnya. Belum lagi yang masih berada di dalam tanah atau di dalam air. Yang ada di atas tanah saja masih sulit diawasi karena lokasinya tersebar. Selain itu, tenaga yang ada masih terbilang minim.
Beruntung ada beberapa lulusan jurusan arkeologi, meskipun bekerja serabutan atau menjadi pekerja lepas mandiri, banyak membantu kepentingan arkeologi. Boleh dibilang lulusan arkeologi yang hobi memperkenalkan dunia arkeologi kepada masyarakat awam. Saya sendiri cuma bisa membuat blog arkeologi dan blog museum sejak 2008. Lalu sejak Agustus 2016 menulis di Kompasiana. Semuanya tanpa dibayar atau tanpa honorarium.