Mahasiswa arkeologi UI sampai dengan angkatan 80-an pastilah sudah familiar dengan nama ini, Boechari. Beliau adalah seorang pengajar epigrafi senior. Namun sejak 28 Mei 1991 beliau meninggalkan kita untuk selama-lamanya karena sakit.
Boechari sudah lebih dari 30 tahun berkecimpung di dunia epigrafi. Dunia yang dipandang paling sulit oleh kebanyakan mahasiswa arkeologi. Jangan heran kalau sampai kini jumlah epigraf di seluruh Indonesia masih minim.
Dalam perbincangan terakhir saya dengan Boechari pada Maret 1991, beliau mengatakan kalau saja kita mau bersungguh-sungguh, betapa pun sulitnya suatu ilmu pengetahuan, pasti akan bisa dipelajari. Ada dua bekal yang harus dipenuhi, katanya, yaitu pengetahuan arkeologi dan linguistik. Bekal lain adalah ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Bekal seperti itulah yang belum dimiliki para mahasiswa arkeologi. “Bapak heran mengapa tidak ada mahasiswa yang menekuni epigrafi, padahal dulu dalam ujian sarjana pengetahuan epigrafi merupakan mata kuliah wajib,” katanya.
Semula Boechari mengharapkan dua nama yang bakal menggantikannya. Mereka adalah Edi Sedyawati dan Hasan Djafar. “Dari banyak kelas, Edi merupakan murid terpandai,” begitu cerita Boechari. Namun ketika Edi diminta belajar epigrafi, dia bilang ngeri. “Eh, malah belajar tari,” kata Pak Boechari waktu itu.
Hasan Djafar dinilai ulet, teliti, dan pandai. Dalam ujian sarjana, Hasan hampir memperoleh nilai maksimum. Tetapi ketika disuruh megang prasasti, Hasan hanya nyengir.
Pada masa kemudian Prof. Edi Sedyawati pernah menduduki jabatan Direktur Jendral Kebudayaan, sementara Dr. Hasan Djafar menjadi tenaga pengajar di UI. Saat ini keduanya sudah pensiun tapi masih aktif di berbagai kegiatan arkeologi.
Menurut Boechari pada 1980-an minat mahasiswa terhadap epigrafi mulai meningkat. D.S. Setyawardhani tadinya akan diorbitkan. Karena nilai skripsinya bagus, dia diangkat menjadi asisten Boechari. Namun ketika disekolahkan ke luar negeri, dia malah kecantol mahasiswa Indonesia yang juga bersekolah di sana. Mahasiswa tersebut adalah Dami S. Toda.
Gagal memikat D.S. Setyawardhani, harapan kemudian ditumpukan kepada Richadiana Kartakusuma, Titi Surti Nastiti, I Gusti Ngurah Tara Wiguna, Ninie Susanti, Agus Aris Munandar, dan Rita Fitriati. Dari sejumlah nama itu, Boechari berharap besar dari Ninie Susanti, Agus Aris Munandar, dan Rita Fitriati. Ketiganya memang menjadi pengajar di Jurusan Arkeologi UI, kecuali Rita Fitriati yang mengundurkan diri.
Boechari menilai Ninie sangat tekun. Lagi pula perhatiannya kepada epigrafi sangat besar. Mudah-mudahan saja dia bisa menggantikan saya, begitu Boechari berharap sekali.
Agus Aris Munandar dianggapnya sangat cerdas. Hanya dia masih belum bisa menentukan pilihan, mau ikut dirinya atau ikut Hariani Santiko, pengajar Kepurbakalaan Indonesia. Tentang Rita Fitriati dikatakannya potensial, hanya kini masih mendalami bahasa Sansekerta di luar negeri.