Kota Jakarta berkembang demikian pesat sejak 1970-an. Pembangunan fisiknya gencar dilaksanakan dari satu gubernur ke gubernur lain. Mulai dari  halte bis, jembatan penyeberangan, hingga pusat-pusat perbelanjaan dan jalan raya. Bahkan, pengadaan moda transportasi seperti bis Transjakarta, MRT, dan LRT telah dan akan menjadikan Jakarta sebagai percontohan bagi kota-kota modern yang super sibuk di  Indonesia.
Dampak positif pembangunan memang begitu kentara. Dulu, kotanya kumuh. Kini, Â banyak dihiasi gedung-gedung jangkung. Namun dampak negatifnya adalah karena pembangunan itu tidak melalui proses AMDAL (Analisis mengenai Dampak Lingkungan) dan SKA (Studi Kelayakan Arkeologi), maka pembangunan tersebut malah banyak merusakkan dan melenyapkan peninggalan masa lampau Jakarta. Selain itu mengabaikan sumber-sumber tertua tentang sejarah kehadiran manusia pertama di kotanya.
Terbukti, dari dulu hingga kini penelitian tentang masa lampau Jakarta jarang dilakukan. Kecuali anggaran penelitian yang dinilai terlalu kecil, banyak pembangunan fisik juga tidak terkoordinasi dan terkontrol dengan baik. Keadaan ini menyebabkan banyak situs arkeologi hancur, hilang, dan tertutup hutan beton untuk selama-lamanya. Yang rugi tentu saja adalah kita sendiri. Persoalannya adalah kita tidak bisa lagi mengungkap siapakah nenek moyang kita di Jakarta purbakala.
Padahal, sejak lama Jakarta diketahui memiliki situs-situs arkeologi dari masa prasejarah. Situs-situs tersebut tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Umumnya situs-situs tersebut terletak di tepi sungai atau daerah aliran sungai (DAS). Dari situs-situs tersebut sampai kini masih sering ditemukan berbagai artefak purba, seperti beliung persegi, kapak perunggu, gerabah, bahkan tulang manusia.
Dulu, temuan-temuan itu diperoleh penduduk secara kebetulan ketika sedang mengerjakan sawah atau ladang. Kadang-kadang sewaktu membangun jalan atau fondasi rumah. Temuan-temuan yang diperoleh amat banyak jumlahnya. Sepanjang abad ke-19, sejumlah temuan berhasil dikumpulkan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, cikal bakal Museum Nasional sekarang (Hasan Djafar, 1987).
Ironisnya, temuan-temuan yang diperoleh melalui penelitian arkeologi (ekskavasi) sangat sedikit jumlahnya. Â Mungkin karena situs-situs tersebut dianggap kurang penting, jadinya pemerintah enggan mengucurkan dana penelitian. Berbagai penelitian arkeologi pun sering dianggap menghambat pembangunan fisik. Karena itulah penelitian masa lampau Jakarta terabaikan. Banyak pihak rupanya lebih berfokus pada kepentingan bisnis daripada kepentingan ilmiah.
Buni
Di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya, dari 60-an situs yang sudah teridentifikasi, baru setengahnya saja yang pernah diekskavasi. Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap situs-situs itu pun baru dimulai pada 1960, ketika media massa mengabarkan bahwa banyak penduduk Buni di Kabupaten Bekasi melakukan penggalian liar untuk mencari benda-benda kuno.
Sebenarnya, Buni sebagai ladang harta karun sudah diketahui sejak 1937. Ketika itu sejumlah pedagang barang antik sering menjual temuan-temuan prasejarah berupa  gelang batu, manik-manik, dan gerabah kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten enWetenschappen. Situs Buni semakin populer ketika pada 1958 seorang penduduk setempat secara kebetulan menemukan perhiasan-perhiasan emas dalam periuk-periuk kuno sewaktu mengerjakan sawahnya.
Maret 2007 lalu kembali penduduk di sekitar Karawang menemukan berbagai perhiasan emas di lokasi garapan sawah. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa daerah Buni dan sekitarnya memang kaya akan benda kuno. Selain perlu digali secara ilmiah, berbagai penelitian lain tentu saja perlu dilakukan di wilayah ini.