Miris sekali melihat foto prasasti Kutu kiriman dokter Sudi Harjanto. Dokter dari Sidoarjo ini gemar blusukan. Ia mempunyai komunitas pemerhati sejarah dan budaya bernama Tapak Jejak Kerajaan. Dokter Sudi sendiri sangat berminat pada prasasti.
Prasasti adalah sumber sejarah kuno yang dipandang paling dapat dipercaya. Umumnya media penulisannya adalah batu. Dulu prasasti berfungsi sebagai informasi bahwa suatu desa atau wilayah telah diberi keistimewaan oleh raja atau pejabat yang berkuasa saat itu. Karena itu prasasti ditempatkan pada desa yang telah memperoleh anugerah raja atau pejabat.
Ketika itu batu yang digunakan berukuran besar. Umumnya berupa batu tunggal. Beratnya bisa mencapai ratusan kilogram. Bahkan berton-berton. Sejauh ini prasasti batu tertua diketahui berasal dari abad ke-5 Masehi. Namun kebanyakan prasasti di Jawa berasal dari abad ke-9 hingga ke-13.
Pendukungnya semakin sedikitÂ
Boleh dibilang dulu prasasti ditempatkan di desa yang jumlah penduduknya belum banyak. Namun lambat laun jumlah penduduk semakin bertambah, sementara jumlah lahan semakin terbatas. Selama ratusan tahun prasasti pun terabaikan oleh masyarakat yang hidup pada masa kemudian.
Maklum banyak warga tidak mengerti akan bahasa yang digunakan dalam prasasti. Umumnya Jawa Kuno yang pendukungnya memang semakin sedikit. Meskipun demikian, masyarakat tahu bahwa prasasti merupakan benda kuno. Jangan heran saat ini banyak ditemukan prasasti berada dalam pekarangan orang atau persawahan penduduk. Tentu saja berhubungan dengan suatu desa.
Kondisi demikian tentu saja rawan. Mungkin aman dari maling-maling barang antik. Namun prasasti-prasasti demikian tidak dapat menahan gempuran cuaca, seperti angin, hujan, dan panas. Banyak prasasti tampak sudah aus. Aksara-aksara yang tertulis di badan batu itu, nyaris tidak terbaca lagi oleh generasi sekarang.
Prasasti Kutu tadi terletak di tengah sawah di kecamatan Maospati, kabupaten Madiun. Hampir tidak ada orang yang memperhatikan prasasti tersebut. Kecuali para peminat warisan leluhur. Bahkan mereka sering merawat dan menjaganya.
Menurut cerita dari masyarakat sekitar prasasti Kutu, beberapa tahun lalu pemerintah desa pernah berupaya memelihara warisan leluhur tersebut dalam bentuk acara bersih desa. Entah mengapa sekarang acara tersebut tidak pernah lagi dilakukan.
Nasib prasasti Sendang Kamal, prasasti lain yang disambangi Sudi Harjanto, kelihatannya jauh lebih baik karena sudah ditempatkan dalam lokasi yang baik. Prasasti Sendang Kamal berupa tiga prasasti batu. Namun kalau diamati dengan seksama, tampak vanadalisme pada sebuah prasasti. Kemungkinan dilakukan oleh pengunjung yang tidak menghargai warisan nenek moyangnya.