Arkeologi sering dipandang hanya mempunyai bidang garapan di darat dan di air. Arkeologi (daratan) sudah lama dikenal. Ini karena memang kebanyakan artefak arkeologi berasal dari dalam tanah, yang tentu saja terdapat di daratan.
Seiring kemajuan teknologi, terutama dengan banyaknya kapal kuno yang tenggelam, maka arkeologi maritim (maritime archaeology) dan arkeologi bawah air (underwater archaeology) ikut berkembang. Arkeologi modern ini mulai mendapat popularitas sekitar tahun 1950-an, meskipun jauh sebelumnya para nelayan dan masyarakat awam sering menemukan bangkai kapal di sejumlah perairan.
Pada mulanya penyelidikan arkeologi dilakukan secara asal-asalan. Dengan terciptanya metode ekskavasi (penggalian) maka kemudian penggalian mulai dilakukan secara cermat. Telaah terhadap temuan-temuan pun menjadi berkembang, terlebih setelah semakin majunya dunia sains dan teknologi. Arkeologi modern bergerak selangkah ke depan dengan diperkenalkannya istilah arkeologi udara.
Lindbergh
Istilah arkeologi udara muncul secara kebetulan. Pelopornya adalah Charles Lindbergh. Dia adalah seorang pilot yang pertama kali melintasi Samudera Atlantik tanpa henti seusai Perang Dunia II. Suatu hari dia mengajak beberapa peneliti museum dan universitas untuk terbang rendah di atas hutan Amerika Tengah. Ternyata mereka melihat jejak-jejak peninggalan kuno dengan jelas. Ya, melalui arkeologi udara mereka bisa melihat situs arkeologi dari atas pesawat.
Berkat Lindbergh maka kemudian dilakukan penelitian lebih jauh terhadap jejak-jejak tersebut. Terungkap bahwa jejak-jejak itu merupakan puing-puing kota yang dibangun oleh bangsa Inca dan Aztec. Jejak-jejak tersebut tidak mungkin terlihat dari darat karena terhalang oleh hutan-hutan belantara yang lebat.
Upaya Lindbergh berhasil membuka mata para ilmuwan lain untuk menggunakan teknologi penelitian yang lebih canggih. Pada masa kemudian, penelitian banyak memakai alat penginderaan jauh seperti satelit Landsat, pemindai panas, dan infra merah. Peralatan tersebut mampu menjelajahi tempat-tempat tertutup seperti hutan belantara. Pionir penelitian ini adalah NASA, Badan Antariksa dan Penerbangan AS. Teknologi demikian mampu menembus kegelapan, awan, dan hutan kanopi yang padat (Paul Devereux, Arkeologi).
Selanjutnya NASA menggunakan foto Landsat dan pemindai infra merah untuk mengukur radiasi yang dilepaskan oleh tanah. Hasilnya sangat mencengangkan karena gambar itu merupakan jejak-jejak kaki tertua di dunia yang berasal dari tahun 500 SM.
Penelitian juga dilakukan di hutan Guatemala. Sebelum jatuhnya kerajaan Maya pada abad ke-9, daerah Peten di Guatemala didiami oleh jutaan orang Maya. Mereka lenyap dalam beberapa puluh tahun, mungkin karena penyakit atau bencana alam. Saat ini mereka banyak meninggalkan arsitektur yang fantastis.
Ironisnya, gambar Landsat menunjukkan pengrusakan hutan di Peten oleh manusia masa kini semakin parah. Padahal situs arkeologi yang penting itu memiliki jalan pintas dan sejumlah kuil di antara hutan belantara tersebut. Kini hanya sebagian situs yang terselamatkan.