Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Arkeologi Bukan Hanya di Dalam Tanah, tapi Juga di Udara

7 Januari 2017   08:16 Diperbarui: 8 Januari 2017   08:44 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat kecil terbang rendah di atas reruntuhan bangunan bangsa Indian kuno (Sumber: Valentina Beggio, hal. 13)

Arkeologi sering dipandang hanya mempunyai bidang garapan di darat dan di air. Arkeologi (daratan) sudah lama dikenal. Ini karena memang kebanyakan artefak arkeologi berasal dari dalam tanah, yang tentu saja terdapat di daratan.

Seiring kemajuan teknologi, terutama dengan banyaknya kapal kuno yang tenggelam, maka arkeologi maritim (maritime archaeology) dan arkeologi bawah air (underwater archaeology) ikut berkembang. Arkeologi modern ini mulai mendapat popularitas sekitar tahun 1950-an, meskipun jauh sebelumnya para nelayan dan masyarakat awam sering menemukan bangkai kapal di sejumlah perairan.

Pesawat kecil terbang rendah di atas reruntuhan bangunan bangsa Indian kuno (Sumber: Valentina Beggio, hal. 13)
Pesawat kecil terbang rendah di atas reruntuhan bangunan bangsa Indian kuno (Sumber: Valentina Beggio, hal. 13)
Arkeologi sendiri bermula dari hobi mengumpulkan barang-barang antik. Arkeologi modern diperkirakan berawal di pengujung abad ke-17 di Inggris, ketika mempelajari monumen kuno seperti Stonehenge mulai menjadi tren di kalangan bangsawan atau tuan tanah. Berangsur-angsur pada abad ke-19 orang-orang di Eropa mulai menyelidiki lokasi yang dianggap sebagai situs arkeologi. Acuan utama mereka adalah kitab Injil.

Pada mulanya penyelidikan arkeologi dilakukan secara asal-asalan. Dengan terciptanya metode ekskavasi (penggalian) maka kemudian penggalian mulai dilakukan secara cermat. Telaah terhadap temuan-temuan pun menjadi berkembang, terlebih setelah semakin majunya dunia sains dan teknologi. Arkeologi modern bergerak selangkah ke depan dengan diperkenalkannya istilah arkeologi udara.

Lindbergh

Istilah arkeologi udara muncul secara kebetulan. Pelopornya adalah Charles Lindbergh. Dia adalah seorang pilot yang pertama kali melintasi Samudera Atlantik tanpa henti seusai Perang Dunia II. Suatu hari dia mengajak beberapa peneliti museum dan universitas untuk terbang rendah di atas hutan Amerika Tengah. Ternyata mereka melihat jejak-jejak peninggalan kuno dengan jelas. Ya, melalui arkeologi udara mereka bisa melihat situs arkeologi dari atas pesawat.

Berkat Lindbergh maka kemudian dilakukan penelitian lebih jauh terhadap jejak-jejak tersebut. Terungkap bahwa jejak-jejak itu merupakan puing-puing kota yang dibangun oleh bangsa Inca dan Aztec. Jejak-jejak tersebut tidak mungkin terlihat dari darat karena terhalang oleh hutan-hutan belantara yang lebat.  

Upaya Lindbergh berhasil membuka mata para ilmuwan lain untuk menggunakan teknologi penelitian yang lebih canggih. Pada masa kemudian, penelitian banyak memakai alat penginderaan jauh seperti satelit Landsat, pemindai panas, dan infra merah. Peralatan tersebut mampu menjelajahi tempat-tempat tertutup seperti hutan belantara. Pionir penelitian ini adalah NASA, Badan Antariksa dan Penerbangan AS. Teknologi demikian mampu menembus kegelapan, awan, dan hutan kanopi yang padat (Paul Devereux, Arkeologi).

Foto udara dari hutan Guatemala (Sumber: Paul Devereux, hal. 20)
Foto udara dari hutan Guatemala (Sumber: Paul Devereux, hal. 20)
Uji coba yang dilakukan NASA dinilai cukup berhasil. Pada 1985 penelitian berlangsung di Kosta Rika, Amerika Tengah, karena diduga kuat merupakan “tempat peninggalan bersejarah yang tersembunyi”. Ketika itu NASA mengirimkan dua pesawat untuk mengambil gambar dengan foto infra merah.

Selanjutnya NASA menggunakan foto Landsat dan pemindai infra merah untuk mengukur radiasi yang dilepaskan oleh tanah. Hasilnya sangat mencengangkan karena gambar itu merupakan jejak-jejak kaki tertua di dunia yang berasal dari tahun 500 SM.

Penelitian juga dilakukan di hutan Guatemala. Sebelum jatuhnya kerajaan Maya pada abad ke-9, daerah Peten di Guatemala didiami oleh jutaan orang Maya. Mereka lenyap dalam beberapa puluh tahun, mungkin karena penyakit atau bencana alam. Saat ini mereka banyak meninggalkan arsitektur yang fantastis.

Ironisnya, gambar Landsat menunjukkan pengrusakan hutan di Peten oleh manusia masa kini semakin parah. Padahal situs arkeologi yang penting itu memiliki jalan pintas dan sejumlah kuil di antara hutan belantara tersebut. Kini hanya sebagian situs yang terselamatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun