Di balik kemajuan saat ini, ternyata Kota Jakarta menyimpan segudang cerita, terutama dari bawah tanahnya. Cerita-cerita itu terkuak ketika proyek pembangunan terowongan kereta bawah tanah MRT tahap kedua antara Bundaran HI -- Jakarta Kota. Â Banyak temuan bersejarah yang sudah terkubur lebih dari 400 tahun di bawah tanah itu.
Dulu memang nama Batavia pernah menjadi bagian dari sejarah Jakarta. Batavia dibangun oleh Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Wilayah Hindia Timur. Wilayah Batavia direbut dari Kesultanan Banten pada 1619.
Melalui pembangunan sistem perkotaan, lengkap dengan benteng sebagai pelindung kota dan kanal untuk pengendalian banjir, Batavia berkembang menjadi pusat ekonomi penting di Nusantara. Bangsa-bangsa asing pun bergantian datang dan menetap di Batavia. Semua itu meninggalkan jejak sejarah yang kemudian tertimbun oleh proses alam dan pembangunan.
Dalam pembangunan salah satu ruasnya, pihak MRT melibatkan para arkeolog. Hal ini karena jalur sepanjang Jalan Gajah Mada dan Jalan Pintu Besar Selatan merupakan bagian dari pusat kota Batavia.
Temuan ribuan artefak
Temuan ribuan artefak dari jalur ini memperlihatkan dinamika kehidupan dan panjangnya perjalanan sejarah Kota Jakarta. Tentu saja objek-objek itu belum banyak diketahui oleh publik. Beruntung banyak pihak peduli pada informasi kesejarahan Jakarta. Berkat kolaborasi antara Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jabodetabek, Museum dan Cagar Budaya Kemendikbudristek, MRT, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Â KITLV Belanda, dan Bentara Budaya Jakarta, temuan-temuan itu dipamerkan untuk publik di Bentara Budaya Jakarta.
Pameran, yang dilengkapi dengan diskusi, diselenggarakan pada 24 September 2024 hingga 29 September 2024. Pameran dan diskusi itu bertema "Jakarta dari Bawah Tanah". Â Menurut Ketua Pelaksananya, Berthold Sinaulan, kegiatan ini merupakan wujud pertanggungjawaban dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat luas bahwa setiap pembangunan di lokasi yang diduga situs bersejarah, perlu melibatkan arkeolog dan pakar terkait.
Selain peta Batavia, objek-objek temuan yang dipamerkan antara lain keramik, tulang hewan, benda kayu, benda logam, dan benda tanah liat. Pameran dilengkapi foto, pemutaran video, dan pemandu.
Tulang hewan
Temuan tulang hewan dalam pameran cukup menarik. Rupanya rangka kuda pernah terpendam di areal pembangunan MRT. Tulang kuda ditemukan pada ekskavasi 2018. Lokasi penemuan berada di selatan stasiun Jakarta Kota di kedalaman lebih dari 3 meter. Dulu lokasi penemuan masih berupa kanal Tijgergracht. Kini kanal tersebut telah ditimbun, berubah menjadi Jalan Pinangsia dan Jalan Lada.
Pada masa itu kuda memegang peranan penting di Batavia, terutama sebagai alat bantu transportasi. Kuda dimanfaatkan sebagai penarik delman dan penarik trem.
Tentu saja di Batavia, sekarang kawasan Kotatua Jakarta, banyak terdapat kandang kuda atau istal. Lihat pameran ini jadi teringat istal yang pernah menjadi kontroversi. Letak istal di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta. Pada 2012 sebagian besar bangunan yang diduga bekas istal dirobohkan untuk perluasan gedung Museum Sejarah Jakarta. Â
Ketika itu para arkeolog, sejarawan, budayawan, arsitek, dan pemerhati budaya sempat bertanya-tanya. Â Sebagian besar menolak pembongkaran itu karena dipandang tinggalan sejarah yang perlu diselamatkan karena berkategori cagar budaya.
Ahli konservasi, Nanik Widayati, yang dihubungi, kaget mendengar kabar ini. "Saya belum melihat sendiri. Namun jika informasi ini benar, saya mendesak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengevaluasi kerja TSP serta meminta pertanggungjawaban Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI," kata Ketua Pusat Arsitektur dan Konservasi tersebut (Kompas, 5/11/2012).
Budayawan Jakarta, Yapi Panda Abdiel Tambayong, yang lebih populer dengan sebutan Remy Sylado, menyebut tindakan merobohkan bangunan bersejarah ini sebagai tindakan brutal. "Saya ingin tahu apa yang akan dilakukan Pak Jokowi yang pernah pasang badan mempertahankan pabrik es bersejarah di Solo saat ia menjadi wali kota," ujarnya masih menurut Kompas edisi yang sama.
Ahli sejarah Batavia Adolf J Heuken SJ, mengatakan itu adalah perbuatan bodoh yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, pembongkaran tersebut 100 persen murni proyek yang dilakukan Pemerintah DKI. Dia menilai masih banyak ruang kosong di kawasan itu yang bisa dijadikan gudang (Sinar Harapan, 5/11/2012).
Menurut Heuken, yang dijuluki Ensiklopedia Berjalan tentang Jakarta, sebelum menjadi istal, ruangan tersebut digunakan sebagai penjara tambahan. Soalnya bekas penjara yang saat ini masih bisa dilihat di Museum Sejarah Jakarta pada abad ke-17 tidak mampu menampung para tahanan. Baru pada abad ke-19 beralih fungsi menjadi istal.
Namun ada yang menyetujui pembongkaran tersebut, antara lain Tim Sidang Pemugaran (TSP). Bangunan itu dipandang bukan cagar budaya. Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Arie Budiman mengatakan, seluruh bangunan yang dirobohkan itu baru. "Itu bangunan tahun 1985," tuturnya (Kompas. 5/11/2012)
Begitulah pro-kontra dalam memandang bangunan cagar budaya. Saya mendengar ketika itu sejumlah arkeolog, sejarawan, dan pemerhati lain diminta tidak berbicara lagi soal istal. Meskipun suara mayoritas tidak menyetujui pembongkaran, tetap saja istal dibongkar. Kini hanya terlihat sedikit sisa istal itu.
Ternyata kajian ilmu pengetahuan kalah oleh kemauan pihak penguasa. Peran ilmuwan selalu dikalahkan kepentingan politis.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H