Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Koleksi Uang Pun "Sekolah" ke Mancanegara

16 Maret 2024   08:46 Diperbarui: 21 Maret 2024   14:16 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi uang kertas dan uang logam (koin) yang sudah di-grading dan belum di-grading (Sumber: Dokpri)

Koleksi uang lama Indonesia semakin diminati, baik oleh kolektor dalam negeri maupun oleh kolektor mancanegara. Di banyak negara pun dunia koleksi sudah semakin maju.

Koleksi uang lama sendiri terbagi menjadi dua golongan, yakni uang kertas dan uang logam (koin). Setiap jenis bahan memiliki peminat masing-masing. 

Ada yang senang mengumpulkan uang kertas karena gambarnya menarik. Ada pula yang senang mengumpulkan uang logam karena bentuk dan ukurannya kecil.

Dulu koleksi uang lama susah dicari. Paling-paling kolektor mendatangi pasar loak atau penjual barang antik. Namun sejak munculnya dunia internet, koleksi uang lama mudah dijumpai. Di lokapasar (markerplace) ada. Di media sosial pun banyak pedagang uang lama.

Koleksi uang kertas dan uang logam (koin) yang sudah di-grading dan belum di-grading (Sumber: Dokpri)
Koleksi uang kertas dan uang logam (koin) yang sudah di-grading dan belum di-grading (Sumber: Dokpri)

Harting angkut

Banyak orang beranggapan uang lama pasti berharga mahal. Lihat saja banyak masyarakat awam sering ikut-ikutan menawarkan uang lama dengan harga tidak masuk akal. 

Sering juga diimbuhi kata wani piro, berani tawar berapa, dan harting angkut. Coba iseng-iseng buka marketplace dengan kata kunci tertentu, misalnya "koin 1 cent nederlandsch-indie". 

Maka akan muncul beragam harga, dari harga wajar hingga harga tak wajar. Nah, di marketplace ada tulisan penting yang harus dilihat. Kalau tertulis "terjual 5" paling tidak termasuk harga wajar, apalagi kalau "terjual 125".

Koin yang bernilai 66/kiri dan koin yang belum di-grading/kanan (Sumber: Dokpri)
Koin yang bernilai 66/kiri dan koin yang belum di-grading/kanan (Sumber: Dokpri)

Di mata kolektor, harga tergantung kondisi atau grade. Makin bagus kondisi suatu koleksi, harganya akan makin tinggi. 

Perlu diketahui, kolektor mengenal berbagai jenis kondisi, mulai dari paling bagus hingga kondisi jelek antara lain Unc (Uncirculated), XF (Extra Fine), VF (Very Fine), F (Fine), dan P (Poor). 

Singkatnya saja F = Fine/cukup bagus dan P = Poor/jelek. Kondisi yang paling diminati kolektor adalah Unc, XF, dan VF.

"Grading" 

Sejak sekitar 20 tahun lalu muncul lembaga sertifikasi (grading) di mancanegara. Maklum dunia numismatik di sana sudah maju dibandingkan Indonesia. 

Maka berbagai kolektor, terutama dari kalangan menengah ke atas, mulai meng-grading koleksi mereka. Ada tiga lembaga grading yang cukup dikenal di Indonesia yakni PMG (Paper Money Guaranty), PCGS (Professional Coin Grading Service), dan NGC (Numismatic Guaranty Company).

Biaya grading PCGS, PMG, dan NGC (Sumber: Facebook Kolektor Oeang Koeno)
Biaya grading PCGS, PMG, dan NGC (Sumber: Facebook Kolektor Oeang Koeno)

Koleksi yang sudah di-grading, yang ditentukan oleh angka, akan memiliki beberapa keuntungan. Pertama, koleksi aman dari pengaruh cuaca dll karena sudah diberi pelindung plastik. 

Kedua, harga jual akan meningkat, apalagi mendapat nilai tinggi. Angka hasil grading mempunyai pengaruh besar dalam transaksi. Kalau kita lihat kegiatan lelang atau transaksi di dalam negeri dan mancanegara, hampir semua berpatokan pada angka grading.

Angka grading menggunakan angka 1 hingga 70. Namanya skala Sheldon karena diciptakan orang AS bernama Sheldon. Makin tinggi angka, tentu menunjukkan kondisi koleksi yang semakin bagus. 

Bila dalam sebuah transaksi, misalnya, untuk koleksi yang sama, pasti kolektor akan memilih koleksi dengan angka lebih tinggi. Sekadar gambaran, koleksi bernilai 64 menunjukkan kondisi yang lebih baik dari koleksi bernilai 55.  

Dalam transaksi sesama kolektor, sering timbul istilah spontan yang tentu saja saling dimengerti. Koleksinya sudah 'pakai baju' atau 'pakai jaket' apa belum. Koleksinya sudah 'sekolah' apa belum.  Pakai baju, pakai jaket, dan sekolah mengacu pada grading.

Untuk mendapatkan angka grading, tentu kita harus membayar. Yah sekitar Rp 300.000 untuk koleksi yang tergolong modern, mulai 1950-an. Untuk yang lebih tua, biaya akan lebih tinggi. 

Coba perhatikan daftar harga yang saya ambil dari grup Kolektor Oeang Koeno (KOK) di Facebook. Maklum 'sekolah'nya di mancanegara, bukan di dalam negeri. Perlu waktu sekitar dua bulan dari mulai mengirim koleksi ke agen di Indonesia hingga kembali lagi ke pemilik.

Kalau teman-teman perhatikan koleksi pada foto, boleh dibilang koleksi yang belum di-grading sama bagus dengan koleksi yang sudah di-grading. 

Kalau buat koleksi pribadi sih, tidak masalah koleksi itu belum di-grading. Banyak koleksi saya saja belum di-grading. Toh untuk kepuasan pribadi.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun