Dua tahun belakangan, yakni pada 2021 dan 2022, pesta Cap go meh tidak dirayakan masyarakat Tionghoa karena terkendala peraturan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Maklum pandemi Covid masih belum hilang dari negara kita.
PPKM mulai diberlakukan sejak Maret 2020. Perayaan Cap go meh terakhir sebelum Covid berlangsung pada Februari 2020. Soalnya ketika itu belum ada larangan. Â Cap go meh adalah rangkaian terakhir, merupakan hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Tahun ini Imlek dirayakan pada 22 Januari 2023, sehingga Cap go meh dirayakan pada 5 Februari 2023.
Saya berkesempatan menikmati Cap go meh di bilangan Pecinan, tepatnya di kawasan Glodok. Kawasan ini terletak tidak jauh dari stasiun kereta api Jakarta Kota. Sayang tidak mencicipi lontong Cap go meh. Soalnya kuliner ini ada pada setiap waktu.
Sebelum melihat Cap go meh yang berlangsung siang hari, saya dan beberapa teman arkeologi, sempat makan pagi dan makan siang di Petak 9 terlebih dulu. Di sini masih banyak restoran tempo dulu dan restoran masa kini.
Kami dipandu oleh Candrian Attahiyyat. Arkeolog ini pernah menjadi Kepala UPT Kotatua Jakarta. Jadi beliau hafal betul jalan-jalan di kawasan Glodok.
Dalam perjalanan kami melihat sisa-sisa rumah berarsitektur Tionghoa. Ternyata jumlahnya semakin berkurang. Beberapa kelenteng atau wihara kami datangi, seperti Wihara Dharma Jaya dan Wihara Dharma Bhakti.
Ramai sekali masyarakat di areal wihara. Ada warga Tionghoa, ada pula warga non-Tionghoa. Biasanya warga non-Tionghoa mencari rezeki atau berkah dari warga Tionghoa yang datang bersembahyang. Â Mereka mengharapkan angpau tentunya.
Banyak pedagang burung di setiap wihara. Warga Tionghoa biasanya membeli sejumlah burung untuk dilepaskan ke alam. Sebagai pertanda buang sial atau mengharapkan rezeki di tahun berikutnya.
Bau hio atau dupa Tionghoa sangat terasa. Asapnya cukup mengganggu mata. Warga Tionghoa bersembahyang di dalam. Memohon rezeki, kesehatan, keselamatan, keberuntungan, dan sebagainya.Â
Hujan membawa rezeki
Siang itu cukup panas. Saya dan teman-teman berjejer di sepanjang jalan Kemenangan, tempat iring-iringan akan keluar. Setelah terdengar bunyi petasan, maka mulailah ritual Cap go meh.
Ada atraksi barongsai dan liong (naga). Terdengar dari musiknya yang khas. Lalu ada gotong toapekong. Beberapa orang menggotong dewa-dewa tertentu yang dipercaya membawa keberuntungan. Di jalan yang dilewati, mereka sering berhenti. Ini untuk memberi kesempatan kepada warga yang ingin menyentuh toapekong atau memberi angpau.
Ada lagi beberapa orang yang pipinya ditusuk besi tajam sehingga tembus dari pipi kiri ke pipi kanan. Buat yang pertama kali melihat tentu ada sedikit kengerian.
Saya lihat banyak masyarakat mengabadikan momen ini lewat ponsel. Ada pula yang langsung menayangkan lewat media sosial. Saya melihat juga ada beberapa wartawan televisi.
Mungkin ini yang namanya rezeki. Hujan turun sebentar menjelang ritual. Setelah beberapa saat hujan mereda. Hujan yang diharapkan membawa rezeki kepada kita.
Saya dan teman-teman tidak mengikuti acara sampai tuntas. Entah ke mana saja rute mereka. Sekitar pukul 14.00 saya pulang.
Momen Cap go meh membawa rezeki buat para pedagang. Selain pedagang burung, ada pedagang makanan, minuman, dan pernak-pernik Imlek seperti barongsai mini. Â Rezeki setahun sekali. Acara cukup ramai. Namun jalan yang kecil dan padatnya masyarakat cukup mengganggu.
Menurut seorang pengurus wihara, jauh sebelum acara, terlebih dulu dilakukan ritual tertentu kepada dewa. Â Jika dewa mengizinkan, maka ritual Cap go meh akan berlangsung.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H