Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pipi Ditusuk Besi Tajam pada Ritual Cap Go Meh

6 Februari 2023   12:13 Diperbarui: 6 Februari 2023   12:54 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua tahun belakangan, yakni pada 2021 dan 2022, pesta Cap go meh tidak dirayakan masyarakat Tionghoa karena terkendala peraturan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Maklum pandemi Covid masih belum hilang dari negara kita.

PPKM mulai diberlakukan sejak Maret 2020. Perayaan Cap go meh terakhir sebelum Covid berlangsung pada Februari 2020. Soalnya ketika itu belum ada larangan.  Cap go meh adalah rangkaian terakhir, merupakan hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Tahun ini Imlek dirayakan pada 22 Januari 2023, sehingga Cap go meh dirayakan pada 5 Februari 2023.

Saya berkesempatan menikmati Cap go meh di bilangan Pecinan, tepatnya di kawasan Glodok. Kawasan ini terletak tidak jauh dari stasiun kereta api Jakarta Kota. Sayang tidak mencicipi lontong Cap go meh. Soalnya kuliner ini ada pada setiap waktu.

Sarapan di Petak 6 sebelum berkeliling kawasan Pecinan (Sumber: Agung Arya Putra)
Sarapan di Petak 6 sebelum berkeliling kawasan Pecinan (Sumber: Agung Arya Putra)

Sebelum melihat Cap go meh yang berlangsung siang hari, saya dan beberapa teman arkeologi, sempat makan pagi dan makan siang di Petak 9 terlebih dulu. Di sini masih banyak restoran tempo dulu dan restoran masa kini.

Kami dipandu oleh Candrian Attahiyyat. Arkeolog ini pernah menjadi Kepala UPT Kotatua Jakarta. Jadi beliau hafal betul jalan-jalan di kawasan Glodok.

Dalam perjalanan kami melihat sisa-sisa rumah berarsitektur Tionghoa. Ternyata jumlahnya semakin berkurang. Beberapa kelenteng atau wihara kami datangi, seperti Wihara Dharma Jaya dan Wihara Dharma Bhakti.

Ramai sekali masyarakat di areal wihara. Ada warga Tionghoa, ada pula warga non-Tionghoa. Biasanya warga non-Tionghoa mencari rezeki atau berkah dari warga Tionghoa yang datang bersembahyang.  Mereka mengharapkan angpau tentunya.

Banyak pedagang burung di setiap wihara. Warga Tionghoa biasanya membeli sejumlah burung untuk dilepaskan ke alam. Sebagai pertanda buang sial atau mengharapkan rezeki di tahun berikutnya.

Bau hio atau dupa Tionghoa sangat terasa. Asapnya cukup mengganggu mata. Warga Tionghoa bersembahyang di dalam. Memohon rezeki, kesehatan, keselamatan, keberuntungan, dan sebagainya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun