Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bahasa Melayu Kuna dari Masa Sriwijaya, Cikal Bakal Bahasa Indonesia

8 Januari 2023   13:59 Diperbarui: 19 Januari 2023   20:28 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para peserta mendengarkan penjelasan dari Ibu Ninie tentang Prasasti Telaga Batu dan Talang Tuo (Dokpri)

Berikutnya kami berkunjung ke Prasasti Talang Tuwo yang bertarikh 606 Saka (684 Masehi). Prasasti ini berukuran tinggi 50 cm dan lebar 80 cm. Aksara yang digunakan Pallawa dengan bahasa Sanskerta.

Prasasti ketiga adalah Kota Kapur, bertarikh 608 Saka atau 686 Masehi. Yang unik, prasasti ini berbentuk tiang dengan tinggi 177 cm dan lebar 19-32 cm. Aksara yang digunakan Pallawa dengan bahasa Melayu Kuna. Dalam prasasti ini terlihat jelas angka 0 (lihat tanda panah pada foto).

Terakhir kami mengunjungi Prasasti Telaga Batu. Sayang bagian tarikhnya tidak terbaca. Namun dari isinya masih bisa diperkirakan bahwa prasasti ini berasal dari akhir abad ke-7. Prasasti Telaga Batu tergolong megah karena di bagian atas terdapat hiasan tujuh kepala naga dan di bagian bawah terdapat cerat untuk mengalirkan air. Aksara yang digunakan tetap Pallawa dengan bahasa Melayu Kuna.

Bacaan pada Prasasti Kedukan Bukit (Dokpri)
Bacaan pada Prasasti Kedukan Bukit (Dokpri)

Menulis nama

Setelah mendengar cerita tentang keempat prasasti, kami 'masuk kelas' dan belajar menulis nama diri dengan aksara Pallawa. Panitia menyediakan tabel aksara. Sebagaimana aksara Jawa seperti hanacaraka, tabel aksara Pallawa pun mengandung aksara 'a'. Untuk mendapatkan huruf vokal lainnya, ada metode tertentu seperti lengkung ke bawah, lengkung ke atas, coret bawah, dan coret atas.

Saya pun belajar nama diri. Dari tabel yang ketemu adalah JA LA YA NA TA O. Bayangkan bagaimana menjadi ejaan 'Djulianto'. Dalam hal ini JA harus diubah menjadi JU, lalu LA menjadi LI. Setelah itu YA dan NTO. Treng treng treng...beginilah nama saya setelah dipermak ke dalam aksara Pallawa.

Treng...treng...treng jadi Juliyanto, bukan Djulianto (Dokpri)
Treng...treng...treng jadi Juliyanto, bukan Djulianto (Dokpri)

Rencananya IAAI Jabodetabek akan menyelenggarakan acara sejenis untuk masyarakat awam. Semoga nanti teman-teman yang tertarik aksara kuno bisa ikutan yah.

Jangan dilupakan yah teman-teman, bahasa Melayu Kuna ini menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia sekarang. Jadi itulah peran besar Sriwijaya kepada bangsa dan masyarakat Indonesia.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun