Dalam beberapa hari terakhir masalah kebaya ramai diperbincangkan di media sosial. Pertama, soal 'kebaya merah' yang videonya viral. Kedua, soal kebaya yang diajukan bersama ke UNESCO oleh Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand.
Dalam kesempatan ini kita bicara soal kebaya sebagai warisan budaya saja yah. Kebaya merupakan baju atasan yang dipakai oleh wanita. Umumnya kebaya dipakai pada saat-saat tertentu, seperti upacara pernikahan dan upacara pelantikan. Kebaya banyak dipakai murid-murid sekolah menyambut Hari Kartini.
Tidak heran berbagai acara 'kebaya goes to UNESCO' dan sejenisnya marak di mana-mana. Di Jakarta pernah ada parade berkebaya. Belum lagi acara-acara lain yang tetap berkebaya. Tujuannya hanya satu, ingin mendaftarkan kebaya sebagai Warisan Dunia Takbenda (WBTb) dari Indonesia.
Rumpun Melayu
Kebaya dikenal di berbagai negara ASEAN. Nah, soal istilah kebaya pun beragam. Belum lama ini saya ngobrol dengan beberapa teman dari Kemendikbudristek. Mereka pernah menggawangi Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (WDB). Direktorat ini memfasilitasi pengusulan dan penetapan warisan budaya. Setelah bubar pada awal 2019, tugas diambil alih oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan.
Sebenarnya, kata Lien Dwiariratnawati, kebaya asli Indonesia berasal dari Jawa. Namanya kutu-baru. Kalau yang dikenal di negara-negara rumpun Melayu berupa kebaya panjang.
Dalam lima tahun terakhir, Direktorat WDB berhasil melakukan pencatatan terhadap dua jenis kebaya, yakni kebaya kerancang dari DKI Jakarta (2017) dan kebaya labuh dari Kepulauan Riau (2019). Tentu betapa kayanya jenis dan nama kebaya di Nusantara ini. Ada kebaya Sunda dan kebaya Bali, antara lain yang saya tahu.
Menurut Lien, UNESCO lebih cenderung kalau Warisan Budaya Takbenda (WBTb), termasuk kebaya, diusulkan bersama-sama negara lain atau share nomination karena memperlihatkan kesamaan budaya. Untuk itu, kata Lien, provinsi-provinsi yang memiliki kebaya mencatatkan WBTb itu ke Kemendikbudristek untuk segera ditetapkan menjadi WBTb Indonesia yang selanjutnya baru dapat diusulkan ke UNESCO.
Malaysia melakukan share nomination mengajak beberapa negara ASEAN termasuk Indonesia. Indonesia sendiri maunya single nomination. Padahal Indonesia sudah mengusulkan jamu, tempe, tenun, dan reog. Repotnya, 1 negara hanya bisa mengusulkan 1 WBTb ke UNESCO setiap tahun. Maklum, banyak negara juga mengusulkan WBTb masing-masing. Bayangkan di dunia ada lebih dari 100 negara. Dengan demikian perlu waktu amat lama.
Sri Patmiarsi mengatakan, sebagai single nomination, kebaya akan menunggu dulu jamu diterima dan dicatat oleh UNESCO. September lalu saya mengikuti seminar WBTb oleh Kementerian Luar Negeri. Ternyata baru 2029 Indonesia bisa mengusulkan kebaya sebagai single nomination.