Pada 1985 bersama beberapa mahasiswa Jurusan Arkeologi UI saya berkunjung ke Candi Brahu. Seperti halnya kebanyakan candi di Jawa Timur, Candi Brahu berbahan batu bata (merah). Nama Candi Brahu cukup dikenal karena terletak di Trowulan, Mojokerto, yang selalu dihubungkan dengan ibu kota Kerajaan Majapahit.
Ketika itu kondisi Candi Brahu masih belum bagus. Sebenarnya pihak Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur (sejak 1 November 2022 bernama Balai Pelestarian Kebudayaan) sudah mengajukan anggaran pemugaran.
Namun karena terkendala skala prioritas, pemugaran baru bisa berlangsung pada 1990 oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur (pergantian nama dari Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala). Pekerjaan pemugaran selesai pada 1995.
Pada 2013 saya berkesempatan lagi ke Candi Brahu. Ternyata sudah bagus dibandingkan kunjungan pertama saya. Pemugaran candi memang dimungkinkan sepanjang ada kajian arkeologi.
Bata-bata baru diperbolehkan asalkan diberi tanda atau catatan. Maklum, bata-bata kuno pada candi umumnya tidak dapat bertahan lama. Sering aus atau rusak karena faktor alam dan manusia. Bahan baru diperlukan untuk memperkuat konstruksi.
Lingkungan Candi Brahu pun sudah rapi. Jalan setapak dan taman dibangun di sekitar candi itu. Tentu untuk membuat betah para wisatawan yang berkunjung ke sana.
Dari kata 'Warahu'Â
Diperkirakan umur Candi Brahu lebih tua daripada candi-candi lain di kawasan Trowulan. Soalnya tidak jauh dari Candi Brahu pernah ditemukan prasasti berbahan tembaga, Alasantan. Pada baris pertama terbaca angka 861 Saka (939 Masehi). Lalu pada baris kedua nama Sri Maharaja Halu Dyah Sindok. Prasasti Alasantan antara lain menyebutkan sebuah desa bernama waharu atau warahu, yang ditafsirkan sebagai nama lama Brahu.
Keberadaan Candi Brahu sudah diketahui pada masa Raffles. Ia menyebutnya sebagai sebuah gapura atau gerbang Majapahit.
Dari pengukuran diketahui Candi Brahu berdenah bujur sangkar dengan sisi-sisi berukuran 20,70 meter. Ketinggian candi mencapai 25,70 meter.
Candi menghadap ke arah barat. Badan candi mempunyai sebuah ruangan berukuran 4 meter x 4 meter. Bagian penampil sudah hancur sedangkan bagian atap sudah rusak.
Lalu bagaimana sifat keagamaan Candi Brahu, Hindu ataukah Buddha? Di sinilah berperan kejelian arkeolog. Pada candi terdapat sisa bentuk stupa sehingga arkeolog memperoleh informasi bahwa Candi Brahu berlatarkan Buddha.
Di sekitar kompleks candi pun pernah ditemukan benda-benda kuno lain, seperti alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda lain dari emas, serta arca-arca logam yang kesemuanya menunjukkan ciri-ciri Buddha.
Diduga di sekitar candi ini terdapat beberapa candi kecil. Sayang yang tersisa hanya pondasi, jadi tidak terselamatkan. Dulu pernah ada Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong.
Keempat candi bata ini kemungkinan menjadi korban penduduk sekitar. Karena ketidaktahuan, penduduk sekitar sering membuat semen merah dari bata-bata kuno. Pencurian bata kuno, begitulah yang sering terjadi di Trowulan sejak 1960-an. Beruntung, Candi Brahu selamat dari upaya negatif masyarakat.
Dengan demikian banyak informasi masa lalu hilang dari bumi Majapahit ini. Tentu kita hanya bisa menyesali perbuatan masyarakat terdahulu dan masyarakat masa sekarang yang tidak peduli kepurbakalaan sebagai data sejarah.***
Sumber:
Candi Brahu dalam https://candi.perpusnas.go.id
Candi Brahu dalam Candi Indonesia Seri Jawa halaman 340-341.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H