Sejak Maret 2020 Museum Bank Indonesia ditutup untuk umum karena pandemi. Namun layanan museum tetap dilaksanakan melalui daring, seperti kunjungan secara virtual dan podcast. Secara resmi Museum Bank Indonesia dibuka kembali untuk publik pada 7 Juli 2022. Dihitung secara matematis, Museum Bank Indonesia tutup selama dua tahun empat bulan.
Meskipun dibuka untuk umum, kegiatan Museum Bank Indonesia tentu saja masih dilaksanakan secara terbatas dengan prokes ketat. Seperti kegiatan yang berlangsung pada 9-11 September 2022 di Jakarta. Â Beberapa museum diundang untuk mengikuti kegiatan perdana itu. Museum-museum yang terpilih itu disyaratkan memiliki followers tinggi di medsos.
"Pandemi memaksa kita untuk melakukan kegiatan secara daring melalui medsos. Ini tentu mengubah pola pikir untuk khalayak dengan cara lain. Belum lama dalam acara ICOM (Dewan Museum Internasional) di Praha ditegaskan kegiatan museum dilakukan secara daring dan luring," demikian Kepala Museum Bank Indonesia Dandy Indarto Seno ketika membuka kegiatan.
Kegiatan pertama Museum Bank Indonesia itu bertujuan menjalin kerja sama antarmuseum. Banyak admin medsos mengikuti kegiatan pelatihan. Di luar admin medsos ada sejumlah undangan dengan pertimbangan museum bisa maju kalau berkolaborasi dengan berbagai pihak. Selain pelatihan admin medsos (Pansos), ada talkshow dan diskusi tentang numismatik dan permuseuman.Â
Perjalanan rupiah
Kegiatan yang mulai berlangsung sore hari, diisi dengan talkshow bertopik "Sejarah perjalanan rupiah hingga kini". Â Pak Yerry Wirawan dari Universitas Sanata Dharma mengemukakan asal usul kata rupiah, sejarah awal penggunaan kata rupiah di Indonesia, dan perjalanan rupiah dari dulu hingga sekarang.
Menurut Pak Yerry, adanya alat tukar membantu perdagangan di Nusantara. Pak Yerry adalah seorang sejarawan, tentu bahan bacaannya cukup banyak. Mata uang, kata Pak Yerry, banyak dicetak oleh kesultanan di Nusantara, salah satunya mata uang emas dari Samudra Pasai (1297-1326) di wilayah Aceh.
Sepengetahuan Pak Yerry, picis atau kepeng telah ada di Jawa sekurangnya sejak abad ke-12 dan ke-13. Lalu uang Tiongkok dari tembaga digunakan di Jawa hingga abad ke-18.
 Namun banyaknya jenis mata uang tentu 'membingungkan' pemerintah dan masyarakat. Maka upaya penyederhanaan atau penyatuan mata uang mulai dilakukan pada pertengahan abad ke-18. Sunan Paku Buwana II dan Gubernur Jendral van Imhoff mendirikan bengkel uang di Batavia. Pada 1744 bengkel itu mencetak dirham emas atau dirham jawi dan dinar perak. Sayang bengkel itu tutup pada 1751. Dengan demikian penggunaan mata uang tunggal urung terlaksana.
Upaya lebih serius penyatuan sistem mata uang muncul di Hindia-Belanda pada abad ke-19. Â Pada 1854 pemerintah Hindia-Belanda menetapkan penggunaan gulden seperti yang digunakan di Belanda. Namun, kata Pak Yerry, penggunaan gulden tidak secara langsung menggantikan penggunaan uang kepeng yang masih beredar di Nusantara hingga masa Perang Dunia I (1918) terutama di Sumatera dan Bali. Bahkan di Sulawesi penggunaannya hingga 1930.