Soal tiket masuk Candi Borobudur Rp750.000 ramai diperbincangkan di media sosial. Semula orang menganggap tiket sebesar itu untuk memasuki kawasan taman wisata. Ternyata tiket sebesar itu untuk naik ke atas candi. Itu pun dibatasi hanya 1.200 orang. Ini tentu sesuai penelitian soal daya dukung tanah dan tingkat keausan/kerusakan batu.
Kini muncul perbincangan lain, soal 'kaya' dan 'miskin'. Buat banyak orang tentu Rp750.000 bernilai besar. Padahal banyak orang ingin sampai ke atas candi. Ada yang meminta pembatasan pengunjung perlu, namun tiket diturunkan. Taruhlah menjadi Rp100.000.
Syarat lain, pengunjung yang ingin sampai ke atas candi harus mendaftar secara daring. Jika kuota 1.200 sudah penuh, maka pengunjung bisa memilih waktu berikutnya. Begitu saya baca di media sosial.
Pembatasan pengunjung memang sangat diperlukan. Secara teori, semakin banyak pengunjung yang menaiki candi, semakin banyak keausan/kerusakan batu candi. UNESCO melalui Moe Chiba, sudah mewanti-wanti hal ini sejak lama. UNESCO 'campur tangan' karena turut berpartisipasi dalam pemugaran Candi Borobudur. Bahkan telah menetapkannya sebagai Warisan Dunia.
Keausan batu
Sebenarnya pembatasan pengunjung sudah dilontarkan sejak awal abad ke-20. Saya kutipkan tulisan Soekmono (1973), "Beberapa puluh tahun lalu panitia pemugaran pada masa Th. Van Erp pernah menganjurkan agar jumlah pengunjung dibatasi. Maksudnya tidak lain untuk memperkecil kerusakan-kerusakan mekanis yang disebabkan oleh manusia. Menurut panitia tadi sebaiknya para pengunjung dikelompokkan menjadi rombongan tidak lebih dari 20 orang. Setiap kelompok harus disertai dan diawasi oleh seorang petugas pemandu".
Pada 1985 saya pernah meneliti Candi Borobudur. Penelitian saya belum maksimal karena beberapa lantai ditutup. Ketika itu banyak batu rusak terkena bom. Pada Januari 1985 memang beberapa bom meledak di Candi Borobudur.
Ada beberapa hal yang saya amati. Saya hitung dan ukur kerusakan batu pada lantai, anak tangga (undak), dan stupa. Saya amati juga sampah di sana. Nah, inilah susahnya pengunjung. Sudah ada tempat sampah dan papan larangan membuang sampah, tetap saja banyak sampah di lantai.
Hal penting lain, tentang tingkah laku pengunjung, lama waktu kunjung, kecepatan berjalan, dan jenis alas kaki. Dulu belum ada ponsel, jadi belum ada istilah selfie. Umumnya pengunjung langsung naik ke teras arupadhatu yang banyak stupa untuk berfoto. Teras rupadhatu tempat berbagai relief cerita, hanya sepintas dilihat.