Lelang arca di AS
Kasus yang pernah menghebohkan adalah lelang arca Aksobhya dari Candi Borobudur di AS pada 2008. Pihak balai lelang menganggap barang itu asli. Namun para perajin patung batu di Muntilan menilai arca tersebut buatan perajin setempat. Hal ini terlihat dari pori-pori pada tubuh arca. Menurut mereka, sejak lama banyak kolektor barang antik dari dalam negeri dan mancanegara memesan arca Buddha sejenis dari para perajin. Kemudian lewat berbagai proses, arca itu "disulap" menjadi benda seni bernilai tinggi.
Di tangan pembuatnya arca itu hanya berharga jutaan rupiah. Namun, Balai Lelang Christie memasang harga pembukaan Rp 2,8 miliar. Tidak tertutup kemungkinan akan mencapai Rp 5 miliar, bahkan lebih, seandainya lelang berjalan mulus.
Lihat lebih jauh tulisan itu [di sini].
Yang unik pencurian arca kuno di Museum Radya Pustaka, Solo, pada 2007. Tercatat lima arca kuno hilang dan rencananya akan dibuat duplikat atau dipalsukan sebagai pengganti koleksi museum. Â Ironisnya, pencurian itu melibatkan kepala museum dibantu pegawai museum. Â Â
Kelima arca tak ternilai harganya itu ditemukan di rumah seorang pengusaha kaya yang juga kolektor benda antik. Ketika melakukan investigasi, seorang arkeolog Lambang Babar meninggal dunia.
Faktor Ekonomi
Benda kuno atau benda purbakala, begitulah masyarakat awam menyebut, memang selalu menarik perhatian. Apalagi bila dikaitkan dengan faktor ekonomi. Harganya yang mahal, sering kali menyebabkan oknum-oknum tertentu memburu, mencuri, atau memalsukan benda-benda kuno. Apalagi kini teknologi sudah semakin canggih.
Benda kuno memang sejak lama menjadi perhatian dua kalangan. Pertama, kalangan ilmuwan, terutama arkeologi, karena mengandung nilai ilmu pengetahuan. Kedua, kalangan pedagang atau kolektor karena nilai ekonomi sekaligus nilai sosial yang tinggi.
Demi duit memang banyak pihak menghalalkan segala cara. Begitulah nasib benda kuno. Bendanya sering kali diburu orang-orang tidak bertanggung jawab. Sebaliknya ilmu yang mempelajari tinggalan kuno, yakni arkeologi, sering 'dilecehkan' pemerintah sendiri. Dulu pernah terombang-ambing antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, termasuk dengan nomenklatur lain.
Bahkan sejak awal 2022 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tidak lagi di bawah Kemendikbudristek tetapi di bawah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Tepatnya di bawah nama Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (Arbastra).
Di pihak lain, masih ada instansi arkeologi di bawah Kemendikbudristek, tapi berorientasi kepada pelestarian. Nama Direktorat Purbakala lalu Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman pernah disandang instansi arkeologi itu.***