Masyarakat Jakarta yang pernah menggunakan angkutan umum sejak 1970-an sampai sekarang pasti merasakan perbaikan sedikit demi sedikit. Saya sendiri boleh dibilang pengguna setia angkutan umum.Â
Saya mulai menggunakan angkutan umum ketika duduk di bangku SMP. Waktu SD, saya sering berjalan kaki atau naik becak karena jarak dari rumah ke sekolah cukup dekat.
Ketika SMP saya menggunakan oplet atau bus kota. Waktu itu semua oplet menggunakan karoseri kayu. Penumpang bisa duduk di depan, di samping sopir.Â
Di bagian belakang hanya ada satu pintu. Dari situlah penumpang masuk. Kalau tidak salah, kapasitas di bagian belakang sepuluh penumpang yang duduk saling berhadapan. Beberapa tahun kemudian oplet hilang dari Jakarta karena digantikan mikrolet.
Oplet dan bus kota
Pulang sekolah, saya sering naik bus kota. Ongkosnya lebih murah dari oplet. Lagi pula bisa berhenti sekitar 200 meter dari rumah saya. Beda dengan saat berangkat, jalur bus kota cukup jauh.Â
Nah inilah bedanya. Kalau naik oplet selalu dapat duduk karena jumlah penumpang disesuaikan dengan tempat duduk, sedangkan kalau naik bus kota hampir selalu berdiri.
Waktu itu saya sering naik bus Pelita Mas Djaja, yang merupakan singkatan dari Pembangunan Lima Tahun Masjarakat Djakarta Raja rute Lapangan Banteng -- Cililitan atau Lapangan Banteng -- Halim Perdanakusuma.Â
Dulu angkutan umum di Jakarta dimiliki oleh beberapa perusahaan, seperti Mayasari Bhakti, Medal Sekarwangi, Arion, Merantama, Saudaranta, Ajiwirya, SMS, dan PPD. Hanya PPD yang merupakan perusahaan milik negara. Setiap perusahaan bus melayani rute tertentu.
Dulu ada ongkos tertentu untuk umum, pelajar/mahasiswa, dan ABRI. Tapi namanya pelajar kadang sering "nembak". Ditagih ongkos bilang "belakang", hehehe...