Menulis merupakan sebuah aktivitas menyenangkan. Dengan menulis kita bisa mengeksplorasi keresahan yang ada dalam hati kita. Biasanya menulis berasal dari hobi. Lihat saja para Kompasianer. Mereka menulis apa saja dengan gaya bahasa masing-masing. Buat mereka yang penting materinya, soal tata bahasa urusan belakangan. Kita lihat memang banyak tulisan para Kompasianer agak 'amburadul' dalam soal tata bahasa, bahkan banyak salah tik. Maklum menulis di Kompasiana tanpa suntingan. Lagi pula banyak jari Kompasianer yang 'kegedean' sehingga keliru mencet tombol keyboard.
Menulis di blog pribadi juga seperti itu. Yang penting isi hati tersalurkan. Apalagi bila ada komentar dari pembaca yang lambat-laun akan menjadi teman. Ada interaksi kalau kita menulis di blog pribadi atau blog publik, termasuk di media sosial. Biarpun tanpa honorarium, penulis merasa senang. Kalaupun ada rewards, terutama dari Kompasiana, lumayanlah untuk mentraktir teman. Tidak besar-besar amat.
Puas dengan menulis
Banyak sekali orang di muka bumi ini yang sangat mencintai dunia tulis-menulis. Di Kompasiana, misalnya, ada yang menulis terus-menerus sejak 2010 hingga 2021 ini. Mereka merasa puas hanya dengan menulis.
Saya sendiri sebelum menulis di Kompasiana, sering menulis di blog pribadi. Saya punya blog pribadi tentang arkeologi di hurahura.wordpress.com (dibuat sejak 2008) dan tentang museum di museumku.wordpress.com (dibuat sejak 2010). Kedua blog saya itu bersifat keilmuan. Karena nama saya sudah dikenal, blog saya itu diakui oleh beberapa perguruan tinggi. Â
Sebelum era internet, saya sering menulis di berbagai media cetak Jakarta. Pertama kali menulis di koran Warta Mahasiswa, Indonesia, dan Merdeka. Lalu tabloid Mutiara, koran Sinar Harapan, dan koran Suara Pembaruan. Media-media cetak lain yang pernah saya tembus Suara Karya, Media Indonesia, Kompas, dan Warta Kota untuk koran serta Intisari, Reader's Digest Indonesia, Amanah, dan Body & Soul untuk majalah. Mungkin ada beberapa lagi, namun saya lupa.
Menulis di media-media cetak tentu mendapatkan honorarium. Nah, dulu menulis menjadi 'tambang emas' saya. Dengan mendapatkan honorarium dari Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta lumayanlah untuk biaya hidup sehari-hari.
Menulis menjadi pekerjaan yang menjanjikan, meskipun hanya memperoleh sekadar 'recehan'. Penulis lepas atau wartawan lepas, mungkin itu yang cocok buat saya. Soalnya saya tidak mempunyai ikatan kerja dengan perusahaan-perusahaan pers itu.
Menulis, baik populer maupun ilmiah, bisa dibilang pekerjaan intelektual. Tidak sembarang orang bisa menulis demikian. Kadar keilmuan kita harus lumayan.